iklan

HEADLINE, SOSIAL INKLUSIF

Ketika dunia menjadi rumah: Paus Fransiskus dan Argentina yang dirindukan

Ketika dunia menjadi rumah: Paus Fransiskus dan Argentina yang dirindukan

Paus Fransiskus. Foto Tatoli/Antonio Daciparu

DILI, 22 April 2025 (TATOLI)Dua belas tahun telah berlalu sejak Jorge Mario Bergoglio, Uskup Agung Buenos Aires, terpilih sebagai Paus dan mengambil nama Fransiskus, namun satu hal yang belum pernah terjadi hingga akhir masa pelayanannya: ia tak pernah kembali ke Argentina, tanah kelahirannya.

Dalam kurun waktu kepausannya, Paus Fransiskus telah menginjakkan kaki di 68 negara dalam 47 kunjungan apostolik internasional. Ia menyapa umat di benua Asia, Afrika, Eropa, Amerika, hingga ke wilayah-wilayah terpencil seperti Mongolia dan Papua Nugini. Dari negara dengan jutaan umat Katolik hingga komunitas kecil yang hanya berjumlah ribuan, semua merasakan sentuhan kedekatan dan cinta dari Paus yang sederhana ini.

Namun, meski seluruh dunia menjadi ladang pelayanannya, Argentina tetap menjadi sebuah halaman yang tidak pernah ia buka kembali secara langsung. Bagi banyak orang, ini adalah ironi yang menyentuh: seorang Paus yang lahir di Buenos Aires, yang memahami denyut sosial dan spiritual bangsanya, namun tidak kembali ke sana setelah terpilih pada Konklaf 2013.

Kisah perjalanan Paus Fransiskus dimulai dengan simbol sederhana namun sarat makna: ketika ia menaiki pesawat ke Brasil pada Juli 2013 untuk menghadiri Hari Orang Muda Sedunia, ia membawa tas hitam kecilnya sendiri. Sikap ini mencerminkan kerendahan hatinya dan cara khasnya dalam membangun kedekatan—bukan dari atas mimbar megah, tetapi dari lorong-lorong pesawat dan jalan-jalan tanah, berbicara langsung dengan siapa saja.

Berita terkait : Masyarakat Timor-Leste berbondong-bondong gelar doa untuk Paus Fransiskus

Begitu tiba di negara tujuan, ia kerap menolak kendaraan lapis baja, memilih mobil sederhana atau jip terbuka, memungkinkan dirinya menyapa langsung umat yang menyambutnya. Perjalanan internasional pertamanya bahkan tidak menyeberangi perbatasan: ia memilih Lampedusa, pulau kecil di selatan Italia yang menjadi pintu masuk ribuan migran ke Eropa, sebagai simbol komitmennya kepada yang terlupakan dan tersingkir.

Dari Ajaccio hingga Rio de Janeiro, dari Papua Nugini hingga Mongolia, Paus Fransiskus tidak hanya hadir sebagai kepala negara atau tokoh agama, tetapi sebagai seorang gembala. Ia menyuarakan keprihatinan atas krisis kemanusiaan, menyerukan perdamaian di negara-negara konflik seperti Irak, Sudan Selatan, Kolombia, dan Kanada, serta menantang para pemimpin politik untuk meninggalkan kepentingan sempit demi kebaikan bersama.

Di tempat-tempat dengan jumlah umat Katolik yang kecil, seperti Mongolia yang hanya memiliki sekitar 1.500 umat, ia hadir secara fisik untuk menyampaikan bahwa mereka juga penting dan dicintai. Di tengah-tengah dunia yang diguncang oleh polarisasi dan sekularisasi, terutama di Eropa, Paus Fransiskus tak gentar berbicara tentang isu-isu pelik seperti migrasi, perubahan iklim, aborsi, dan penyalahgunaan kekuasaan dalam Gereja.

Meskipun kesehatannya menurun—terkadang harus menggunakan kursi roda—semangatnya tak pernah surut. Ia tetap bersuara lantang dalam menyampaikan pesan injili, namun penuh kelembutan saat berbicara dengan umat, religius, dan mereka yang menderita.

Setiap kunjungan menjadi ziarah perdamaian dan rekonsiliasi, membawa pesan: bahwa dunia membutuhkan jembatan, bukan tembok; bahwa setiap orang, tanpa kecuali, adalah saudara dan saudari.

Salah satu ironi terbesar dalam kisah kepausannya adalah tidak pernah kembali ke Argentina, tanah kelahirannya, sejak meninggalkannya untuk menghadiri Konklaf pada Maret 2013. Namun, mungkin justru karena itu, ia merasa di rumah di mana pun ia berada, karena baginya, seluruh umat manusia adalah keluarga yang ia cintai dan layani.

Dalam setiap senyuman yang dibalas, setiap pelukan yang dibagi, dan setiap doa yang ia panjatkan bersama umat, Paus Fransiskus menunjukkan kepada dunia bahwa Tuhan itu dekat—dan bahwa kasih-Nya tidak pernah mengenal batas.

Kunjungan Apostolik di Timor-Leste

Umat Katolik di Timor-Leste sendiri telah lama memimpikan kedatangan Paus Fransiskus ke tanah air mereka sejak awal masa kepausannya pada 2013. Sebagai negara mayoritas Katolik, masyarakat Timor-Leste merindukan kehadiran pemimpin spiritual tertinggi Gereja Katolik untuk memberikan berkat dan memperkuat iman mereka, terlebih mengingat sejarah panjang perjuangan dan penderitaan yang telah mereka alami.

Harapan ini terus menguat setiap tahun, terutama setelah Timor-Leste resmi diakui sebagai negara anggota penuh komunitas Katolik global dan setelah pengangkatan Virgílio do Carmo da Silva sebagai kardinal pertama dari negara tersebut pada 2022.

Setelah lebih dari satu dekade penantian, doa umat akhirnya dijawab. Pada September 2024, Paus Fransiskus melakukan kunjungan apostolik bersejarah ke Timor-Leste. Kedatangan beliau disambut dengan sukacita luar biasa dan suasana haru. Ribuan umat dari seluruh pelosok negeri memadati lokasi-lokasi kunjungan, termasuk Misa Kudus yang dipimpin Paus di Tasitolu.

Dalam kunjungannya, Paus Fransiskus menyampaikan pesan damai, persaudaraan, dan pentingnya peran generasi muda dalam menjaga iman dan membangun masa depan bangsa.

Ia juga memberikan perhatian khusus pada orang miskin dan sakit, memperkuat identitas Gereja sebagai Gereja yang dekat dengan yang menderita.

Kunjungan tersebut menjadi momen sejarah yang tak terlupakan bagi rakyat Timor-Leste dan meneguhkan kembali ikatan batin yang kuat antara Vatikan dan negara kecil di Asia Tenggara ini.

Reporter     : Cidalia Fátima

Editor          : Julia Chatarina

iklan
iklan

Leave a Reply

iklan
error: Content is protected !!