iklan

POLITIK, HEADLINE

Presiden Horta : Saatnya negara rapuh menjadi penentu masa depannya sendiri

Presiden Horta : Saatnya negara rapuh menjadi penentu masa depannya sendiri

Presiden Republik Demokratik Timor-Leste, José Ramos Horta berbicara dalam Pertemuan Tingkat Menteri g7+ ke – VI yang digelar di CCD, Dili, jumat (11/04). Foto Tatoli/Antonio Daciparu

DILI, 11 April 2025 (TATOLI)– Presiden Republik Demokratik Timor-Leste, José Ramos Horta  dalam Pertemuan Tingkat Menteri  g7+ ke – VI dan peringatan 15 tahun pendiriannya mengajak negara-negara anggota untuk terus memperjuangkan suara, kedaulatan, dan solidaritas di tengah ketidakpastian global.

Presiden Horta mengenang bagaimana Timor-Leste, setelah puluhan tahun dilanda pendudukan dan konflik, memilih jalur rekonsiliasi, dialog, dan persatuan nasional dibandingkan dendam. Ia menyebut rekonsiliasi bukan sekadar kebijakan, melainkan kebutuhan untuk bertahan hidup sebagai bangsa.

“Perdamaian dan stabilitas yang kami capai bukan hadiah, tapi hasil dari tekad politik, keberanian, dan kepemilikan proses damai oleh rakyat kami sendiri,” ujar Horta dalam pertemuan di Pusat Konvensi Dili (CCD), jumat ini.

Ia juga menekankan bahwa pengalaman Timor-Leste menjadi bukti bahwa proses perdamaian yang berhasil harus dipimpin oleh negara itu sendiri, bukan dipaksakan dari luar.

Kepala Negara yang juga sebagai utusan khusus g7+ mengingatkan bahwa g7+ dibentuk pada 2010 dengan visi menjadikan negara-negara terdampak konflik sebagai aktor utama dalam menentukan masa depan mereka. Ia menekankan bahwa sistem internasional selama ini gagal menangani kerentanan dan konflik secara adil.

“MDGs (Millennium Development Goals) meninggalkan banyak dari kita. Bantuan internasional terpecah, dan mekanisme global tak memadai. g7+ hadir sebagai gerakan untuk mengubah itu semua,” katanya.

Berita terkait : Sekjen PBB akui suara g7+ penting untuk masa depan dunia yang lebih adil dan damai

Menurutnya, selama 15 tahun, g7+ telah tumbuh menjadi suara kolektif negara-negara yang rentan, dan menjadi kekuatan yang mendorong solusi yang berasal dari dalam negara sendiri, bukan hanya menjadi penerima keputusan global.

Presiden Horta mengkritik ketidakadilan dalam tatanan dunia pasca-Perang Dunia II yang disebutnya dibentuk oleh sedikit negara kuat untuk kepentingan mereka sendiri. Ia mempertanyakan sistem “berbasis aturan” yang kerap diterapkan secara selektif.

“Siapa yang menetapkan aturan itu? Dan siapa yang benar-benar mematuhinya?” tanyanya tegas.

Ia menyebut bahwa negara-negara Selatan Global kerap menjadi korban dari konflik yang tidak mereka mulai dan menjadi panggung persaingan geopolitik, baik di masa Perang Dingin maupun masa kini.

Presiden Horta mengajak seluruh anggota g7+ untuk memperkuat perjuangan bersama melalui tiga agenda utama seperti Reformasi, Solidaritas, dan Kepemilikan Nasional.

g7+ harus mendorong reformasi PBB, terutama Dewan Keamanan, agar lebih demokratis dan representatif. Ia menyoroti bahwa status pengamat g7+ di PBB harus digunakan untuk menuntut keadilan dalam pengambilan keputusan global.

Solidaritas, menurutnya, adalah fondasi kekuatan g7+. Dukungan dari negara ke negara seperti yang dilakukan melalui kerja sama Fragile-to-Fragile harus diperkuat untuk membantu negara-negara anggota yang masih menghadapi konflik aktif seperti di Afghanistan, Haiti, Yaman, dan Sudan Selatan.

Selain itu untuk mendorong kepemilikan nasional dalam perdamaian dan pembangunan, Horta menegaskan bahwa kemajuan berkelanjutan hanya bisa tercapai jika dipimpin oleh negara itu sendiri. Bantuan internasional harus mengikuti prioritas nasional, bukan sebaliknya.

Horta juga menyoroti kontribusi Timor-Leste dalam Global Task Force on Social Protection for Nutrition, sebuah inisiatif bersama dengan Chile dan didukung oleh WFP serta g7+. Inisiatif ini menekankan pentingnya nutrisi dalam perlindungan sosial dan mengakui negara-negara rapuh sebagai pemimpin inovasi, bukan hanya penerima bantuan.

Horta juga menegaskan bahwa dunia berada dalam momen sejarah yang menentukan. Ia menyerukan agar negara-negara g7+ tidak membiarkan diri mereka terpinggirkan, tetapi menjadi mitra sejajar dalam menciptakan dunia yang lebih adil dan damai.

“Kita bukan masalah yang harus diselesaikan. Kita adalah mitra dalam membangun masa depan yang lebih baik. Kita harus menulis narasi baru,” pungkasnya.

Pertemuan Tingkat Menteri  g7+ ke – VI  akan berlangsung selama dua hari, pada 11–12 April 2025.

Pertemuan Tingkat Menteri itu dihadiri oleh 14 negara anggota seperti Afghanistan, Burundi, Republik Afrika Tengah, Chad, Pantai Gading, Guinea-Bissau, Republik Demokratik Kongo, Liberia, São Tomé dan Príncipe, Kepulauan Solomon, Sierra Leone, Somalia, Sudan Selatan, dan Timor-Leste sendiri. 

Reporter : Cidalia Fátima

Editor     : Armandina Moniz

iklan
iklan

Leave a Reply

iklan
error: Content is protected !!