NEW YORK, 26 september 2024 (TATOLI)— Tokoh Terkemuka organisasi Internasional g7+ dan juga Perdana Menteri Timor-Leste, Xanana Gusmão memuji para pemimpin negara anggota g7+ yang terus memperjuangkan perdamaian.
Xanana Gusmão menyampaikan pujian atas negara anggota g7+ dalam Konferensi g7+ yang membicarakan tentang topik “Perdamaian di dunia dan perdamaian di negara-negara anggota g7 +, Tantangan dan Solusi bersama”. Dalam konferensi tersebut turut hadir Presiden Republik, Sierra Leone, Julius Maada Wonie Bio dan juga sebagai Kepala delegasi dari negara-negara anggota g7+, di New York, rabu (25/09/2024).
Xanana Gusmao menyatakan suatu kehormatan baginya bisa memberikan pidato dalam konferensi ini. Di mana pertemuan ini tidak hanya mewakili negara-negara 7g+, tetapi juga sebagai komunitas persahabatan, solidaritas, dan komitmen bersama untuk perdamaian dan stabilitas.
Kepala Pemerintah Timor-Leste itu, mengungkapkan, selama 14 tahun terakhir, solidaritas ini telah menyatukan para inisiator untuk membentuk g7+, dengan misi untuk mendukung upaya-upaya perdamaian.
Dalam lema g7+ adalah “Tidak ada pembangunan tanpa perdamaian” dan “Selamat tinggal konflik, selamat datang pembangunan”. Dimana, negara-negara anggota dan para pemrakarsa berkomitmen untuk menciptakan perdamaian dari segala tantangan.
“Pada prinsipnya, tidak ada orang lain tanpa kita. g7+ menyerukan kepada komunitas global untuk menghormati perspektif dan konteks unik dalam mengembangkan perdamaian dan pembangunan negara,” katanya.
Xanana mengajak negara-negara anggota g7 + bersama-sama menghadapi tantangan, tetapi terus saling mendukung di masa-masa sulit dan berbagi keterampilan dalam perjalanan menuju perdamaian.
Saat ini, Xanana juga terinspirasi oleh kemajuan yang dicapai oleh negara Somalia, Togo, Republik Afrika Tengah, Pantai Gading, São Tomé e Príncipe, dan menghormati ketangguhan masyarakat di Afrika, Asia-Pasifik no Carabia.
“Saya berterima kasih kepada para pemimpin negara-negara anggota atas upaya mereka yang tidak kenal lelah untuk mencapai perdamaian, kesehatan dan ketahanan rakyat mereka,” kata Xanana Gusmão.
PM Xanana juga sangat prihatin dengan negara Sudan Selatan yang selama bertahun-tahun memperjuangkan kemerdekaan. Negara ini terus menghadapi konflik. “Saya pernah mengunjungi negara tersebut, sebelum terjadi krisis konflik,” kata Xanana.
Xanana juga menyoroti masyarakat jutaan lebih di Afganistan yang harus meninggalkan tempat tinggal mereka, karena kondisi di sana. Dimana, mereka menghadapi penderitaan dan kemiskinan karena komunitas internasional belum mencapai stabilitas keamanan jangka panjang di tempat tersebut.
Ia juga sangat menyayangkan konflik yang terjadi di Republik Demokratik Kongo, negara yang kaya akan sumber daya alam, namun rakyatnya tetap hidup dalam kemiskinan.
Xanana juga menyatakan kemarahan terhadap komunitas internasional yang tidak dapat memberikan dukungan yang signifikan pada negara-negara yang menghadapi konflik.
“Namun, saya juga merasa sedih dengan ketidakmampuan para pemimpin dan rakyat untuk memilih jalan menuju perdamaian dan stabilitas. Saya secara pribadi telah menyaksikan potensi perdamaian di negara-negara tersebut,” kata Xanana.
Memang, kata Xanana, banyak negara telah menjadi medan perang yang dominan sebagai akibat dari pengaruh kekuatan global dan regional. Namun, memang benar bahwa kondisi konflik disebabkan oleh kurangnya kohesi dan persatuan di antara mereka sendiri.
“Kita harus menjadi jembatan untuk mencapai perpecahan konflik ini! Betapa besar kebutuhan kita akan perdamaian! Kita harus memiliki keberanian untuk memulai proses untuk mengatakan kebenaran. Kita juga harus mau saling memaafkan, kita harus menutup lembaran masa lalu yang penuh dengan sejarah kepedihan untuk membuka jalan menuju masa depan yang lebih cerah,” serunya.
Xanana juga menceritakan hal ini berhasil dicapai di Timor-Leste. Setelah 24 tahun kependudukan Indonesia, rakyat tidak hanya bertahan hidup, namun mereka melakukan transformasi menjadi negara yang penuh dengan komitmen terhadap perdamaian dan stabilitas.
Transformasi ini tidak hanya dari konvensi tetapi juga dari keberanian untuk menghadapi masa lalu. Dengan berbicara kebenaran, dialog, dan rekonsiliasi, masyarakat menghadapi penderitaan yang mereka hadapi dalam sejarah mereka sendiri.
“Ini bukanlah cara yang mudah. Ini adalah masalah yang memaksa rakyatnya untuk saling memaafkan, menyembuhkan dan membangun. Saat ini, hubungan damai dengan Indonesia, negara yang telah menjajah rakyat Timor-Leste selama 24 tahun, adalah bukti kuat dari rekonsiliasi,” paparnya.
Ia melanjutkan bahwa “ sebagai seorang pemimpin, adalah tugas kita untuk membuat orang-orang kita bersatu melawan kekuatan-kekuatan eksternal dalam upaya mengeksplorasi perpecahan kita. Saat kita berkumpul di sini dan hari ini, mari kita berkomitmen kembali pada prinsip-prinsip ini dengan semangat baru. Mari kita gunakan platform g7+ tidak hanya untuk berdiskusi tetapi juga untuk bertindak,” ajak Xanana.
Sebelum mengakhiri pidatonya, Perdana Menteri Xanana mengumumkan niat Timor-Leste untuk menjadi tuan rumah pertemuan antara Menteri Luar Negeri g7 + tahun depan di Dili. Pertemuan tersebut juga digelar bertepatan 15 tahun berdirinya organisasi internasional g7+.
Ia juga menambahkan, pertemuan ini akan menjadi sebuah seremoni, dan ini akan menjadi kesempatan untuk merefleksikan perjalanan, pembaruan komitmen dan pengembangan arah yang lebih baik untuk masa depan.
Reporter : Hortencio Sanchez (Penerjemah : Armandina Moniz)
Editor : Rafael Ximenes de A. Belo