iklan

POLITIK, INTERNASIONAL

Pemerintah TL sampaikan duka cita atas wafatnya Uskup Agung Desmond Tutu

Pemerintah TL sampaikan duka cita atas wafatnya Uskup Agung Desmond Tutu

Mendiang Uskup Agung Afrika Selatan, Desmond Tutu. Foto google

DILI, 28 desember 2021 (TATOLI)– Pemerintah Timor-Leste (TL)  atas nama seluruh masyarakat, bangsa dan negara, menyampaikan duka cita yang mendalam atas meninggalnya peraih hadiah Nobel Perdamaian dan simbol perjuangan melawan apartheid, Uskup Agung Afrika Selatan, Desmond Tutu.

Uskup Agung Anglikan Desmond Tutu meninggal pada 26 Desember 2021, dalam usia 90 tahun di Cape Town, Afrika Selatan. Desmond Tutu menerima Hadiah Nobel Perdamaian  pada tahun 1984 untuk aktivismenya melawan rezim segregasi rasial di Afrika Selatan.

Pada 1990-an, ia memimpin Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi negara itu, sebuah proses lengkap yang menyelidiki kejahatan selama era apartheid dan itu menandai peristiwa penting langkah penyembuhan selama transisi Afrika Selatan dari apartheid ke demokrasi. Sepanjang hidupnya ia adalah pembela setia keadilan, kebebasan dan hak asasi manusia.

Foto google

Pemerintah TL menyatakan bergabung dengan semua orang yang merasa kehilangan Desmond Tutu dan mempersembahkan, atas namanya dan atas nama seluruh rakyat TL menyampaikan belasungkawa yang tulus kepada keluarganya, teman-teman dan semua orang Afrika Selatan.

Melalui siaran pers, yang diakses Tatoli, Menteri Kabinet Dewan Menteri, Fidelis Magalhães,  menekankan bahwa warisan Desmond Tutu akan bertahan selamanya, dikenang sebagai simbol perjuangan untuk keadilan, kebebasan dan hak asasi manusia.

Desmond Mpilo Tutu  yang lahir pada 7 Oktober 1931 dan meninggal dunia pada 26 Desember 2021,  adalah seorang teolog yang berasal dari Afrika Selatan. Ia juga merupakan seorang aktivis yang dikenal luas pada era 1980-an sebagai salah seorang penentang apartheid. Tutu dipilih dan ditahbiskan menjadi uskup berkulit hitam pertama di Gereja Anglikan. Ia ditahbiskan di kota Cape Town.

Presiden Afrika Selatan, Nelson Mandela juga memberikan pandangan yang baik tentang Tutu. Ia berkata bahwa Tutu adalah seorang yang tidak pernah takut untuk menyuarakan suara “mereka yang tidak dapat bersuara”.

Tutu menolak pandangan yang menilai keberadaan seseorang berdasarkan warna kulit. Sebagai seorang berkebangsaan Afrika Selatan, Tutu mendasarkan teologinya berdasarkan bahasa dan budaya Afrika Selatan dan tentu saja berdasarkan sudut pandang seorang Anglikan.

Dalam tulisan Tutu yang berbicara tentang “diabolical policy”, ia mengkritik kebijakan pemerintah dengan menyatakan bahwa orang kulit hitam tidak diberi kesempatan untuk memilih dalam hidup mereka sendiri, malahan mereka menderita di tanah sendiri.

Selama ia mengepalai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ia merangkul seluruh orang Afrika Selatan dan mengikutsertakan mereka dalam karya komisi ini. Komisi ini mengkampanyekan slogan “Kebenaran itu menyakitkan, tetapi diam itu membunuh”, untuk mengajak seluruh pihak terlibat dalam upaya mengungkap kebenaran dan rekonsiliasi.

Tutu menyatakan bahwa Gereja memiliki peran sebagai model dalam menyaksikan keadilan dan kedamaian.Gereja memiliki peran profetis yaitu menyuarakan kebenaran dan keadilan, pada saat itu berfungsi untuk mengkritik kebijakan pemerintah yang dianggap tidak adil.

Ia mengajukan tantangan bagi Gereja untuk hidup sebagaimana Gereja di tengah pergumulan dunia yaitu menjadi contoh yang baik bagi masyarakat. Dalam mewujudkan Kerajaan Allah di dunia, umat memiliki tugas untuk berkonsiliasi demi menyembuhkan dan memulihkan keadaan setiap pribadi, kehidupan sosial, ekonomi, dan politik sesuai dengan kehendak Tuhan terhadap manusia yaitu kedamaian.

Reporter : Cidalia Fátima

Editor     : Armandina Moniz

iklan
iklan

Leave a Reply

iklan
error: Content is protected !!