iklan

EKONOMI, HUKUM, POLITIK, INTERNASIONAL, KEAMANAN, SOSIAL INKLUSIF

Tujuh tenaga kerja Timor-Leste hidup susah di Dubai : Kami ingin pulang  

Tujuh tenaga kerja Timor-Leste hidup susah di Dubai : Kami ingin pulang  

Ilustrasi

DILI, 24 juni 2022 (TATOLI)—Tujuh (7) tenaga kerja warga negara Timor-Leste (WNTL), berinisial BS, ECdR, L, P, M, A, A (ketujuhnya perempuan) kini sedang hidup susah  di Dubai Uni Emirat Arab (UEA). Karena, perusahaan yang mempekerjakan mereka tidak memiliki kontrak resmi dan menyita semua dokumen pribadi, kecuali telepon genggam untuk berkomunikasi.

“Saya datang kesini pada 24 april 2022. Saya bekerja di salon. Mereka membagikan kami secara terpisah dan berjauhan. Kami ada tujuh orang.  Kami bekerja di salon. Kami tidak memiliki kontrak. Mereka langsung menyuruh kami untuk bekerja,” ungkap WNTL berinisial BS yang sekarang di Dubai pada Tatoli via WhatsApp.

“Setelah bekerja, kami dinilai dari kertas putih yang terkumpul. Kertas mencapai 5.000, mereka akan bayar 200 dirham (setara dengan $54 atau $45). Jika kertas tidak terkumpul sesuai target, kami tidak akan dapatkan bayaran. Paspor kami diambil. Kami bekerja dengan visa turis. Saat ini visa kami sudah expired,” lanjut BS.

Di lain pihak, WNTL berinisial ECdR juga menghadapi situasi dan  menceritakan hal yang sama.

“Kami datang kesini pada 19 mei lalu dan 19 juni 2022 ini, visa kami akan expired. Sebuah agency di Ai-mutin yang menyuruh kami ke Indonesia setelah itu agency di Indonesia menjual kami ke Dubai. Saat ini kami sangat menderita. Bayaran pada  kami setiap hari tidak jelas,” ECdR menceritakan kronologi tersebut via WhatsApp pada Tatoli.

Tempat tidur yang digunakan tenaga kerja. foto spesial

Ia mengatakan, pada waktu itu agency di Timor-Leste, UIPM (Universal Institute Profesional of Management) mengatakan kepada mereka bahwa bekerja di Dubai akan berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan tetapi kenyataannya tidak seperti itu.

“Disaat mereka menyuruh kami kesini, mereka mengatakan bahwa pada waktu siang kami bekerja dan malamnya bisa bisa kuliah. Karena itu, kami ingin datang kesini. Tetapi, nyatanya setelah tiba disini berbeda. Paspor kami diambil. Tempat tinggal juga tidak layak dan kebutuhan makanan pun kami tanggung sendiri,” ungkap ECdR.

“Kami mulai bekerja dari pukul 09:00 hingga 21:00. Usai bekerja, mereka membawakan kertas putih pada kami dan  kami akan berebutan. Jika kami dapatkan kertas tersebut, baru bisa menerima bayaran. Jika, tidak pekerjaan kami selama sebulan hanya sia-sia. Kertas itu pun harus dikumpulkan sampai 5.000, baru bisa dapatkan 200 dirham. Uang itu  sangat sedikit dan tidak mencukupi untuk biaya sebulan,” tambahnya.

Tenaga kerja perempuan itu juga menyampaikan, selama di Dubai, mereka hidup dalam situasi yang susah dan mendapatkan  tempat tinggal yang tidak layak. “Untuk itu, mereka ingin kembali pulang ke Timor-Leste, tetapi perusahaan yang mempekerjakan mereka di Dubai mengancam mereka bahwa jika ingin  pulang harus membayar denda sebesar $80.000.

Selain itu, tenaga kerja berinisial A mengakui kondisi  mereka di Dubai kurang baik. Karena perusahaan yang mempekerjakan mereka telah melanggar  hak mereka.

“Kami disini sangat menderita. Kami ingin pulang ke Timor-Leste, kami bekerja tanpa kontrak. Paspor kami dirampas, telpon genggam ini kami sembunyikan. Jika dilihat akan disita juga,” cerita tenaga kerja WNTL itu.

Untuk itu mereka meminta pada keluarga di Timor-Leste untuk melaporkan hal tersebut pada pihak berwajib untuk mencari tahu agency yang membawa mereka dan menjanjikan hal yang berbeda dengan apa yang didapatkan setelah tiba di Dubai.

Keluarga tenaga kerja : Kami khawatir dengan kondisi mereka

Dengan situasi yang dihadapi ketujuh WNTL di Dubai, Tatoli, I.P. melakukan konfirmasi dengan keluarga dari para tenaga kerja WNTL, EF sebagai kaka dari tenaga kerja berinisial EPCdR, mengakui sebagai keluarga mereka mengetahui situasi dan kondisi tersebut.

“Kami tahu tentang situasi disana dan mereka selalu mengatakan  bahwa mereka hidup susah dan menderita. Jadi, kami juga khawatir akan kondisi mereka,” kata EF.

“Mereka ada tujuh orang. Dan saudara perempuan saya bernama EPCdR. Saudara saya dari Baucau, Quelicai vila,” katanya.

EF menceritakan bahwa, waktu itu  UIPM bekerjasama dengan salah satu agency di Indonesia, dan yang di Indonesia yang mencari koneksi di Dubai UEA. “Jadi disana, diserahkan pada Indonesia. Setelah itu, agency di Indonesia yang  menjalankan hal tersebut. Di Indonesia seperti apa, kami sudah tidak tahu,” paparnya.

Tikar yang digunakan untuk tidur. Foto spesial

“UIPM terletak di samping Gereja Ai-mutin. Ke Ai-mutin tinggal bertanya dan semua orang tahu tempatnya,” katanya.

Agency terima dana $600

Ketua Divisi Tenaga Kerja di Yayasan Pengembangan Komunitas Timor-Leste (FDKTL-Fundasaun Dezenvolvimentu Komunidade Timor-Leste), JG menjabarkan bahwa sebelumnya para tenaga kerja yang akan berangkat ke  Dubai harus memberikan dana sebesar $600 kepada yayasan.

“Mustahil jika para keluarga berpikir anak mereka tiba di Dubai dengan $600? Kami Yayasan yang malahan mengeluarkan uang. Kami membantu mereka secara tulus. Itu karena kami melihat tidak adanya lapangan kerja di Timor-Leste,” Ia menjelaskan.

Ketua Divisi Tenaga Kerja itu pun mengatakan, para tenaga kerja melaporkan dan membohongi keluarga pada waktu di Indonesia saat akan ke Dubai, untuk itu keluarga menemui yayasan di Ai-mutin.

Ia menegaskan, para tenaga kerja ini tidak diperbolehkan menggunakan telepon genggam pada jam kerja, karena itu adalah aturan untuk bekerja dengan baik.

“Paspor mereka diambil untuk menjamin kelanjutan kerja di Dubai. Perusahaan takut kehilangan tenaga kerja dan ini untuk memproses ijin tinggal sementara mereka di Dubai,” kata JG pada Tatoli di Kampung Baru-Comoro, Dili.

Ditanyakan mengenai gaji tenaga kerja yang hanya 200 dirham setiap bulan, penanggung jawab itu mengatakan bahwa hal itu tidak benar. “Mustahil mereka mendapatkan itu. Karena, itu kami ingin ada buktinya,” ungkapnya.

JG juga mengatakan, keluarga ketujuh tenaga kerja mengancam berbagai hal kepada yayasan, tetapi yayasan harus memverifikasi dengan perusahaan dan tenaga kerja. “Jika ada bukti yang membuktikan tentang keluhan mereka itu benar,  Jelas bahwa mereka sebagai tenaga kerja WNTL akan kembali ke Timor,” jelasnya.

Dia lain tempat, salah satu penanggung jawab Universal Instituto of Professional Management (UIPM) yang menolak mempublikasikan identitasnya menjelaskan, Ia tidak mengetahui tentang proses tersebut, karena UIPM dibawah pengawasan FDKTL. “Mereka yang mengikuti kursus bahasa Inggris di rumah saya,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa, dirinya tidak mengetahui tentang perekrutan dan pengurusan dokumen untuk tenaga kerja yang akan bekerja di luar negeri.

Ditanya tentang legalitas tempat kursus tersebut, Ia menanggapi masih dalam proses registrasi di Kementerian Kehakiman (MJ – tetum). “Tetapi tempat kursus ini untuk sementara ditutup,” ungkapnya.

UIPM belum terdaftar di SERVE

Di lain pihak, Direktur Eksekutif, Layanan Pendaftaran dan Verifikasi Bisnis (SERVE, IP), Florêncio Sanches menyebutkan, organisasi UIPM belum terdaftar di SERVE.

“Sudah dicari dan diverifikasi tetapi tidak ada identitas dengan nama Universal Institute of Professional Management atau UIPM,” jelas Eksekutif SERVE itu.

Ia menginformasikan, akan memberikan sanksi kepada organisasi atau perusahaan yang melakukan kegiatan secara ilegal dengan denda $5.000 sesui dengan aturan undang-undang yang berlaku di Timor-Leste.

Tim Redaksi

 

iklan
iklan

Leave a Reply

iklan
error: Content is protected !!