DILI, 18 januari 2021 (TATOLI) – Parlemen Nasional (PN) Timor-Leste (TL) akhirnya memutuskan membentuk komisi untuk memantau masalah rakyat Sahrawi.
Wakil Ketua PN, Maria Angelina Sarmento, mengatakan, sebelumnya anggota PN telah menyetujui rancangan resolusi solidaritas tentang pembentukan komisi PN untuk memantau masalah Sahara Barat (Sahrawi).
“Saya minta Ketua Parlemen Nasional mendukung komisi ini, untuk pantau masalah rakyat Sahara Barat. Kami membentuk komisi ini, karena pada 27 februari 2022, Sahara Barat akan merayakan ulang tahun kemerdekaannya, ” kata Wakil Ketua PN, Maria Angelina kepada wartawan di Parlemen Nasional, Dili, selasa ini.
Berita terkait : Setujui suara solidaritas untuk Sahara Barat, Boibait apresiasi keputusan PN
Sementara itu, Ketua PN, Aniceto Guterres, mengatakan, dalam pertemuan dengan para anggota PN meminta untuk mengajukan nama-nama dari komisi yang dibentuk sesuai dengan persetujuan resolusi.
“Saya sudah mengajukan permintaan minggu lalu, tetapi sampai saat ini, belum menerima tanggapan apa pun. Karena itu, saya akan menunggu lagi selama seminggu ini,” katanya.
Disebutkan, para anggota PN telah menyetujui rancangan resolusi PN tentang solidaritas pembentukan komisi PN untuk memantau masalah Sahara Barat.
Berita terkait : PN setuju rancangan resolusi solidaritas untuk Sahara Barat
Penyetujuan dilakukan melalui pemungutan suara. Dimana hasil suara menunjukan 51 suara mendukung dan tidak ada suara yang menentang dan abstain.
“Perwujudan solidaritas itu tidak hanya dibenarkan oleh sejarah perjuangan yang mereka perjuangkan, serupa dengan perjuangan kita, tetapi juga dengan tugas konstitusional kita”, kata Ketua PN.
Anggota PN yang menduduki parlamen mempertahankan dukungan mereka dengan resolusi PN no.10/2013, tertanggal 29 Mei, dan resolusi tentang komisi pemantauan konflik di Sahara Barat.
Para anggota PN yang mengusulkan dibentuknya komisi tersebut adalah, José Agostinho “Somoxo”, David Mandati Dias Ximenes, Mariano Assanami Sabino, António de Sá Benevides, Duarte Nunes, Cornélio Gama “L-7”, Olinda Guterres, Adérito Hugo da Costa, Antoninho Bianco dan Luís Roberto da Silva .
Berdasarkan, teks resolusi yang dibacakan oleh Sekretaris PN, Lídia Norberta, menyebutkan, anggota parlemen TL menyambut baik upaya Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), António Guterres, untuk menjaga semua operasi pemeliharaan perdamaian di bawah pemantauan ketat, termasuk misi referendum PBB di Sahara Barat (MINURSO).
Anggota parlemen TL juga meminta Dewan Keamanan PBB untuk memasukkan dalam MINURSO “sesegera mungkin, sebuah mandat untuk memantau hak asasi manusia di Sahara Barat”, tulis teks tersebut.
Dalam teks itu, juga meminta Maroko dan Front Polisario untuk melanjutkan negosiasi dengan itikad baik dan tanpa prasyaratan dalam proses politik.
Permintaan juga dibuat kepada Pemerintah Maroko, Front Polisario, Aljazair dan Mauritania untuk bersama-sama mencapai solusi politik yang adil, selain mengizinkan referendum diadakan di Sahara Barat berdasarkan prinsip dan tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Sahara Barat adalah panggung pertikaian pos-kolonialisme yang masih bertahan di utara Afrika. Ketika Spanyol mengakhiri kekuasaannya pada 1975, menyusul perang kemerdekaan melawan etnis Sahrawi, Maroko mengirimkan 20.000 tentara dan memicu perang yang berlangsung selama beberapa tahun.
Etnis Sahrawi bertempur di bawah bendera Front Polisario yang didukung oleh jiran Maroko, yakni Aljazair dan Libya. Kedua negara, terutama Aljazair, secara rutin memasok senjata dan perlengkapan perang bagi Front Polisario.
Namun sejak gencatan senjata 1991, Maroko menguasai hampir 80% wilayah Sahara Barat, sementara sisa wilayah di sepanjang perbatasan dengan Aljazair dikuasai Republik Arab Sahrawi.
Eskalasi terbaru terjadi di Guerguerat yang terletak di perbatasan selatan. Di sini Maroko membangun jalur bebas hambatan menuju Mauritania sebagai koridor perdagangan. Namun keberadaan pos tersebut dinilai mencederai perjanjian gencatan senjata.
Sementara itu, Pasukan Sahrawi hanya membela diri dan merespon pasukan Maroko yang berusaha menggeser tembok perbatasan yang menandai garis demarkasi di bawah perjanjian 1991.
Reporter : Domingos Piedade Freitas
Editor : Maria Auxiliadora (penerjemah : Armandina Moniz)