iklan

OPINI

Kritik budaya patriarki dalam konsep kapabilitas Amartya Sen

Kritik budaya patriarki dalam konsep kapabilitas Amartya Sen

Antonio Octaviano Marcelo da Cunha.

Oleh:

Antonio Octaviano Marcelo da Cunha

Harus diakui bahwa eksistensi budaya patriarki merupakan suatu bentuk konstruksi sosial dalam kehidupan masyarakat yang kemudian melahirkan paham diskriminasi gender terhadap kaum perempuan, dalam hal ini ketidaksetaraan gender (Inequality Gender). Perempuan selalu dipandang sebagai subjek yang lemah, rendah martabatnya dan tidak setara dengan kaum laki-laki. Realitas permasalahan ketidaksetaraan gender ini, sangatlah kompleks dan berkembang hampir di berbagai Negara. Problematika tersebut meliputi pendidikan, perekomian, politik, karier, kesempatan, dan segala bentuk isu yang terkait dengan persoalan diskriminasi gender. Semuanya ini, pada umumnya terbentuk dan terkonstruksi dalam sistem sosial budaya patriarki. Timor-Leste merupakan salah satu Negara yang menjunjung budaya patriarki. Hal ini terlihat dalam budaya masyarakat Timor-Leste yang selalu menomorduakan kaum perempuan serta mendiskriminasikan kaum perempuan dalam segala aspek kehidupan.

Menyimak realitas diskriminasi gender yang terjadi dalam budaya patriarki, pemerintah telah melakukan segala upaya untuk mencegah problem diskriminasi gender yang sudah mengakar dalam sistem sosial budaya patriarki namun sepertinya tidak dapat berjalan dengan efektif di negara Timor-Leste. Dengan demikian, isu diskriminasi gender merupakan suatu problematika krusial yang sering kita tidak perhatikan dan mengabaikannya begitu saja.

Untuk itu, dalam tulisan ini, penulis menggunakan pendekatan kapabilitas Amartya Sen untuk membaca akar persoalan seputar diskriminasi gender di Negara Timor-Leste khususnya dalam konteks ketidaksetaraan gender dalam partisipasi politik, dan penulis berusaha untuk memberikan penjelasan tentang tema permasalahan gender dalam sistem sosial budaya patriarki di Timor-Leste, dan bagaimana mencegah sistem sosial budaya patriarki yang menimbulkan diskriminasi gender terhadap kaum perempuan dalam partisipasi politik.

Konsep Kapabilitas Amartya Sen

Amartya Sen memahami kapabilitas sebagai kemampuan untuk mencapai (the ability to achieve) sesuatu yang dianggap bernilai. Hal yang paling mendasar bagi hidup manusia sejatinya adalah adanya kemampuan (ability) ini. Sen menyebut konsep ini dalam banyak term. Ia kadang menyebutnya sebagai kesempatan (opportunity), daya (power) dan juga sebagai kebebasan (freedom) (Daven, 2020: 2).

Sen membagi konsep kapabilitas menjadi dua, yakni kebebasan kesejahteraan (well being freedom) dan kebebasan kepelakuan (agency freedom). Kebebasan kesejahteraan merupakan kemampuan untuk mencapai sesuatu yang sangat menentukan kesejahteraan seseorang. Sementara kebebasan kepelakuan didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk melakukan atau mencapai sesuatu yang dianggap bernilai (Daven, 2020: 2).

Dalam hal ini, Amartya Sen melanjutkan bahwa konsep kapabilitas berfungsi mencakup tiga aspek kunci yaitu: Pertama adalah kecukupan, yang meliputi kecukupan atas kebutuhan-kebutuhan dasar. Kedua adalah harga diri, yang mencakup dorongan dari diri sendiri untuk maju, menghargai diri sendiri, jati diri. Ketiga adalah kebebasan dari sikap menghamba. Komponen kebebasan manusia melingkupi segenap komponen antara lain: kebebasan politik, keamanan diri pribadi, kepastian hukum, kemerdekaan berekspresi, partisipasi politik dan pemerataan kesempatan (Indarti, 2017:37). Dengan demikian konsep dasar kapabilitas Amartya Sen, dapat dipahami sebagai suatu aktus yang terarah pada suatu nilai luhur, bagaimana manusia dapat mencapai suatu kondisi kehidupan yang baik dan harmonis, menghargai nilai kebebasan setiap orang serta harga diri setiap manusia dalam mewujudkan diri sesuai dengan eksistensi dan kehendak sendiri. Di sini secara konkret dapat dipahami bahwa konsep dasar kapabilitas Amartya Sen merupakan suatu kemampuan yang dimiliki manusia untuk mencapai suatu kondisi kehidupan yang bernilai.

Sebagaimana Dr. Matias Daven mengutip dari karya Amartya Sen yang berjudul The Idea of Justice: Sen memandang kapabilitas sebagai elemen paling konstitutif bagi hidup manusia karena terkait dengan kemampuan atau dayanya untuk meraih kehidupan yang dianggap bernilai. Pendekatan kapabilitas fokus pada soal bagaimana individu memiliki kapabilitas untuk melakukan sesuatu, atau memilih melakukan hal-hal yang ia anggap penting untuk well-being-nya bukan hanya pada soal seberapa banyak harta kekayaan atau pendapatan yang dimiliki orang. Dengan kata lain, kapabilitas mengacu pada kemungkinan nyata individu untuk merealisasikan dirinya; hal yang harus dibangun, bukan hanya dimensi kesejahteraan saja, tetapi juga kebebasan sipil dan politik, seperti kebebasan berpartisipasi dalam politik, kebebasan berpendapat dan lain-lain.

Pendekatan kapabilitas bertitik tolak dari dua pengandaian fundamental yaitu, pertama, manusia memiliki kemungkinan dan hak untuk menentukan diri bagaimana dia hidup. Dalam konteks ini kebebasan merupakan tujuan semua jenis pembangunan dan sebagai itu ia memiliki nilai intrinsik. Dengan demikian, pembangunan dalam terang kapabilitas Sen dapat dipahami sebagai sebuah proses yang memungkinkan manusia mengembangkan kemampuan (capabilities) mereka untuk penuh percaya diri menjalani hidup yang layak dan bermartabat (Ibid.,:11).

Pengandaian fundamental yang kedua, bahwa standar hidup atau kualitas hidup seseorang dapat ditingkatkan hanya jika ia menikmati kebebasan. Sen memahami kebebasan dalam dua aspek, yaitu sebagai proses dan sebagai kesempatan. Terkait dengan aspek proses, kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan memilih sesuatu yang dianggap bernilai tanpa paksaan pihak lain. Terkait dengan aspek kesempatan, Sen menekankan pengertian kebebasan substantif, yaitu adanya kemampuan untuk mencapai (the ability to achieve) sesuatu yang bernilai (kapabilitas). Kedua aspek ini merupakan satu kesatuan  karena dalam kenyataan hidup, kebebasan tak cukup hanya dipahami sebagai bebas dari paksaan pihak lain, melainkan juga kebebasan untuk mencapai sesuatu yang dianggap bernilai, kebebasan sebagai kemampuan to achieve (untuk meraih sesuatu). (Ibid: 12). Bertolak dari konsep pemikiran Amartya Sen tentang kapabilitas dapat kita memahami apa yang menjadi problem dalam ketidaksetaraan gender terhadap peran perempuan dalam partisipasi politik di Timor-Leste.

Diskriminasi gender dalam partisipasi politik budaya patriarki

Politik pada dasarnya adalah usaha mencapai kehidupan yang lebih baik. Andrew Heywood mendefinisikan politik sebagai kegiatan suatu bangsa yang bertujuan untuk membuat, mempertahankan, dan mengamendemen peraturan-peraturan umum yang mengatur kehidupannya, yang berarti tidak dapat terlepas dari gejala konflik dan kerja sama  (Fadli, 2017: 4). Dengan demikian perkembangan dan kemajuan sebuah negara turut dipengaruhi oleh sejauh mana partisipasi aktif rakyat dalam politik untuk bekerja sama demi membangun negaranya. Semua orang, baik laki-laki dan maupun perempuan memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam politik untuk menyampaikan aspirasi politiknya tentang masa depan negaranya.

Namun tak dapat disangkal bahwa di tengah konstruksi sosial budaya patriarki yang sudah mengakar dalam masyarakat tradisional yang selalu memposisikan perempuan pada level di bawah laki-laki, hal ini kemudian membentuk suatu isu stereotip yang selalu menganggap perempuan tidak penting untuk terlibat secara aktif dalam segala aspek kehidupan termasuk partisipasi dalam dunia politik.

Hal yang menjadi conversion factors terhadap persoalan ketidaksetaraan gender khususnya dalam partisipasi politik, yakni konsep konstruksi sosial yang dibangun terhadap kaum perempuan dalam budaya patriarki. Misalnya anak laki-laki dianggap lebih penting dibandingkan anak perempuan; hal ini turut membentuk pandangan masyarakat terhadap kaum perempuan sebagai subjek yang memiliki martabat yang rendah di bawah kaum laki-laki. Pandangan-pandangan semacam ini secara tidak langsung turut mempengaruhi kapabilitas seorang perempuan sehingga ia tidak bisa berkembang secara baik, karena menghambat kemampuan yang dimilikinya untuk mencapai sesuatu yang dianggap bernilai, membuat dia bersikap pasif sehingga ia tidak dapat memanfaatkan secara efektif mungkin potensi, kebebasan dan  kesempatan yang dimilikinya untuk menentukan diri bagaimana dia hidup.

Dalam konteks politik Timor-Leste, stereotip yang sering kita temukan bahwa politik bukanlah bidang yang tepat untuk ditempati oleh kaum perempuan. Stereotip inilah yang kemudian membuat perempuan menghadapi bermacam hambatan untuk ikut berpartisipasi dalam dunia perpolitikan. Hal ini secara tidak langsung membatasi kebebasan perempuan untuk mencapai sesuatu kebebasan yang dianggap bernilai (agency freedom) dan kebebasan yang bisa memungkinkan dia untuk menentukan kesejahteraan ((well being freedom)) bagi hidupnya. Stereotipe yang dikonstruksi dalam budaya patriarki terhadap kaum perempuan, akhir tidak memungkinkan kaum perempuan untuk mengembangkan kemampuan (capabilities) yang bisa membuat mereka penuh percaya diri dalam menjalani hidup yang layak dan bermartabat; dengan demikian kebanyakan perempuan lebih memilih untuk berkarir di rumah dengan menjalankan tugas-tugas domestik.

Politik budaya patriarki ini yang sedang dialami di Negara Timor-Leste, yaitu jika kita menyimak secara teliti, semua jabatan baik di parlemen maupun di pemerintah, mayoritas ditempati oleh kaum laki-laki; para calon presiden dan perdana menteri didominasi oleh kaum laki-laki. Singkatnya, sistem politik di Timor-Leste masih didominasi oleh kaum laki-laki (politik budaya patriarki).

Pertanyaan mendasar adalah mengapa hampir semua jabatan didominasi oleh kaum laki-laki? Apakah perempuan tidak berhak dan tidak mampu? bertolak dari pertanyaan-pertanyaan ini, secara tidak langsung kita dapat melihat bagaimana terjadinya suatu sistem diskriminasi gender dalam partisipasi politik yang dilatarbelakangi oleh budaya patriarki. Masyarakat yang sudah terjerumus dengan arus budaya patriarki tidak memiliki konsep yang bersifat konstruktif terhadap kaum perempuan. Maka tidak heran, jika dalam konteks politik Timor-Leste, minimnya partisipasi perempuan dalam politik karena adanya efek diskriminasi gender (gender discrimination affect), yaitu perbedaan kesempatan atau perlakuan antara laki-laki dan perempuan dalam sistem pendidikan yang menyebabkan terjadinya kesenjangan antara laki-laki dan permampuan yang kemudian menghemonisasi peran perempuan dalam partisipasi politik. Efek diskriminasi gender disebabkan oleh nilai-nilai budaya patriarki yang cenderung masih dianut oleh masyarakat yang dalam banyak hal masih terlegitimasi dalam kebijakan, program, aturan-aturan, mekanisme dan prosedur baku. (Soedawo, 2019 : 37).

Definisi konsep kapabilitas Amartya Sen yang dipahami sebagai kemampuan untuk mencapai (the ability to achieve) sesuatu yang dianggap bernilai dan sebagai elemen paling konstitutif bagi hidup manusia karena terkait dengan kemampuan atau dayanya untuk meraih kehidupan yang dianggap bernilai merupakan sebuah sumbangsih konseptual dalam membaca dan memahami persoalan-persoalan seputar diskriminasi gender di dunia pada umumnya dan juga khususnya dalam konteks Timor-Leste.

Pemikiran Amartya Sen, secara tidak langsung menegaskan tentang soal perlakuan ketidaksetaraan gender dalam kehidupan masyarakat yang sering menomorduakan kaum perempuan dalam segala aspek kehidupan yang kemudian melahirkan stereotipe yang cenderung menciptakan conversion factors terhap kaum perempuan. Peningkatan kesetaraan dan keadilan gender terhadap perempuan dalam partisipasi politik di Timor-Leste akan menjadi lebih efektif jika ada revolusi mental, dan pergeseran paradigma dalam masyarakat yang kemudian mengubah konsep budaya patriarki selama ini, yang selalu memandang kaum perempuan sebagai subjek yang tidak memiliki otoritas atau hak untuk berpartisipasi dalam politik. Oleh karena itu, sudah waktunya untuk mengubah konsep budaya patriarki yang sudah lumrah di mata masyarakat dan mengkonstruksi suatu pandangan yang konstruktif terhadap kaum perempuan. Akses pendidikan hendaknya dilakukan secara merata, baik laki-laki maupun perempuan dapat mengakses pelayanan pendidikan, berpartisipasi aktif, dan mempunyai kontrol serta mendapatkan manfaat dan pembangunan pendidikan, sehingga laki-laki dan perempuan dapat mengembangkan potensinya secara maksimal dan kemudian memampukan mereka untuk bersaing dalam dunia politik secara bersama-sama.

Penulis seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, Flores-NTT.

No. Hp: +6282119450575

iklan
iklan

Leave a Reply

iklan
error: Content is protected !!