iklan

POLITIK, HEADLINE

Usulkan empat langka perdamaian, PM Xanana : g7+ harus jadi kekuatan transformasi

Usulkan empat langka perdamaian, PM Xanana : g7+ harus jadi kekuatan transformasi

Presiden Republik, Jose Ramos Horta dan Perdana Menteri Kay Rala Xanana Gusmão, berpartisipasi dalam Pertemuan Tingkat Menteri g7+ ke – VI yang digelar di CCD, Dili, jumat (11/04). Foto Tatoli/Antonio Daciparu

DILI, 11 April 2025 (TATOLI)– Perdana Menteri Timor-Leste, Kay Rala Xanana Gusmão, menyambut para delegasi negara-negara anggota g7+ dengan menyerukan agar g7+ tidak hanya menjadi saksi sejarah, tetapi juga penggerak perubahan sistemik dalam tatanan dunia.

“Kita harus terus memperjuangkan agar suara kita tidak hanya didengar, tapi juga diakui dalam kebijakan global,” kata PM Xanana dalam sambutannya dalam Pertemuan Tingkat Menteri g7+ ke – VI di Pusat Konvensi Dili (CCD –portugis), jumat ini.

Ia mengingat kembali pertemuan pertama g7+ pada 2010 saat masih menjabat sebagai Perdana Menteri. Saat itu, Timor-Leste baru pulih dari krisis politik 2006, dan hanya sedikit negara yang tergabung dalam kelompok ini.

“Meskipun kami berasal dari situasi yang rapuh, kami bersatu dengan visi berani menuju perdamaian, ketahanan, dan hak untuk menentukan nasib sendiri,” ujarnya.

Ia menekankan bahwa g7+ lahir dari pengalaman bersama negara-negara yang pernah mengalami perang, ketidakstabilan, dan intervensi eksternal yang seringkali gagal membawa perdamaian berkelanjutan.

PM Xanana menyampaikan bahwa salah satu motivasi utama terbentuknya g7+ adalah ketidakpuasan terhadap sistem bantuan internasional yang tidak responsif dan tidak menghormati kepemilikan negara terhadap proses pembangunan.

“Kami ingin mengubah narasi global. Negara kami bukan sekedar penerima bantuan, tapi mitra setara yang punya kapasitas memimpin transformasi sendiri,” tegasnya.

Langkah besar g7+ adalah New Deal for Engagement in Fragile States yang diluncurkan tahun 2011. Kesepakatan ini mendorong agar negara-negara terdampak konflik memegang kendali dalam proses perdamaian dan pembangunan mereka. New Deal bahkan menginspirasi masuknya SDG 16 dalam Agenda 2030, yang menekankan pentingnya perdamaian, keadilan, dan institusi yang kuat.

Namun, Xanana mengakui bahwa meskipun g7+ telah berkembang secara kelembagaan dan berpengaruh dalam wacana global, tantangan besar masih menghadang.

“Dunia semakin dilanda gejolak. Konflik kian lama dan menghancurkan. Ketimpangan dan instabilitas politik memicu krisis baru. Krisis iklim mengancam kelangsungan hidup kita semua,” ujarnya.

Ia juga mengkritik keras sistem global saat ini yang masih dikuasai oleh kepentingan negara-negara kuat, sementara negara-negara Selatan Global kerap tersisih dari pengambilan keputusan yang berdampak pada mereka.

Mantan Presiden Republik itu pun menekankan bahwa kekuatan sejati g7+ terletak pada solidaritas antar anggotanya dan keberanian untuk tetap mengedepankan kepemilikan nasional dalam proses pembangunan. Ia menyoroti pentingnya pertukaran pengetahuan antar negara rapuh (fragile-to-fragile cooperation) dan perlunya menantang arsitektur bantuan internasional yang masih belum berubah secara fundamental.

“Kita harus bertanya, apakah sistem internasional telah berubah? Atau kita masih menghadapi tantangan yang sama seperti 15 tahun lalu?,” tanya Xanana.

Xanana Gusmão menyerukan agar negara-negara yang tergabung dalam kelompok ini tidak lagi menunggu dunia berubah, melainkan mengambil tanggung jawab atas masa depan mereka sendiri.

Empat langka wujudkan perdamaian

Perdana Menteri Xanana juga mengusulkan empat langkah aksi strategis untuk memperkuat peran g7+ dalam mewujudkan perdamaian dan ketahanan yang berkelanjutan.

Ia menyoroti pentingnya rekonsiliasi nasional untuk menghentikan siklus konflik yang terus berulang akibat luka sejarah yang belum sembuh. Ia mendorong negara-negara anggota untuk menjadikan dialog nasional dan rekonsiliasi sebagai agenda prioritas.

“Luka yang tak sembuh jadi celah bagi perang proxy. Perdamaian sejati tidak datang dari luar, tapi dari hati bangsa sendiri,” ujarnya.

Ia juga mengusulkan kepada PBB untuk menunjuk Utusan Khusus untuk g7+, guna mendukung misi rekonsiliasi dan mediasi konflik di negara-negara anggota.

Perdana Menteri memuji langkah g7+ yang sedang menyusun kerangka pembelajaran antarnegara (peer learning framework). Inisiatif ini diyakini mampu menciptakan solusi berbasis pengalaman lokal, bukan model asing yang tidak sesuai konteks.

“Negara-negara kita bukan objek eksperimen. Kita punya pengetahuan untuk memimpin pembangunan dan perdamaian dari pengalaman sendiri,” katanya.

Ia menyerukan kepada komunitas internasional untuk berhenti melihat negara-negara rapuh sebagai penerima bantuan semata. Sebaliknya, mereka harus dianggap sebagai mitra setara dalam menciptakan dunia yang damai.

“Stabilitas di g7+ berarti lebih sedikit konflik, lebih sedikit krisis, dan kebutuhan bantuan yang lebih kecil,” paparnya.

Xanana menutup dengan seruan kuat untuk memperkuat solidaritas antar anggota g7+ agar bisa menjadi kekuatan alternatif di tengah dunia yang makin terbelah.

“Ketika negara-negara kuat membentuk blok untuk perang, kita bisa berdiri sebagai blok untuk perdamaian. Ketika dunia terpecah, kita hadir sebagai simbol kerja sama lintas batas,” katanya.

Dalam refleksi atas 15 tahun perjalanan g7+, Ia mengingatkan bahwa meski banyak pencapaian diraih, dunia tetap berada dalam situasi berbahaya: perang, tekanan ekonomi, dan campur tangan politik masih membayangi negara-negara rapuh.

“Kita berada di persimpangan. Apakah kita hanya menjadi penonton, atau kita bangkit bersama menjaga bangsa kita dari luka perang dan kemiskinan?,” ungkapnya.

Ia menegaskan bahwa g7+ adalah platform yang lahir dari penderitaan dan harapan bersama, dan kini memiliki kekuatan untuk membentuk sejarah baru dan sebuah sejarah yang ditulis oleh negara-negara yang pernah disisihkan, namun kini bangkit untuk memimpin.

Pertemuan Tingkat Menteri  g7+ ke – VI  akan berlangsung selama dua hari, pada 11–12 April 2025.

Pertemuan Tingkat Menteri itu dihadiri oleh 14 negara anggota seperti Afghanistan, Burundi, Republik Afrika Tengah, Chad, Pantai Gading, Guinea-Bissau, Republik Demokratik Kongo, Liberia, São Tomé dan Príncipe, Kepulauan Solomon, Sierra Leone, Somalia, Sudan Selatan, dan Timor-Leste sendiri.

Reporter : Cidalia Fátima

Editor     : Armandina Moniz

iklan
iklan

Leave a Reply

iklan
error: Content is protected !!