DILI, 13 oktober 2022 (TATAOLI)– KIDA (Komisaun Instaladora Desteradu Atauro) akan melestarikan kembali sejarah lebih dari 7.000 mantan tapol (tahanan politik) yang diasingkan ke Pulau Ataúro.
Demi mewujudkan hal tersebut KIDA melakukan konferensi untuk melestarikan sejarah sejati para penyintas yang menjadi korban masalah politik dari tahun 1980 hingga 1987 berjumlah sekitar 7.000 mantan tapol.
Koordinator KIDA, Agostinho Gregório Ramos “Teki Luru” mengatakan konferensi nasional tersebut didanai oleh Kabinet Perdana Menteri dengan anggaran senilai $30.000.
“Kami membentuk komisi KIDA untuk mengingat sejarah mantan tahanan yang diasingkan di Pulau Ataúro. Kami juga telah menguraikan peraturan internal KIDA dan undang-undang untuk komisi ini,” kata Koordinator KIDA, Agostinho di ruang konferensi Katedral, Vila Verde, kamis ini.
Ia menambahkan, mantan tahanan yang diasingkan di Pulau Ataúro berasal dari semua kotamadya di seluruh negeri seperti dari Dili, Aileu, Baucau, Viqueque, Manatuto, Ermera, Lospalos, Ainaru, Aileu, Liquica, Suai, Ataúro dan lainnya.
Ia mengenang mantan tahanan politik yang menjadi korban akibat dari beberapa pembantaian yang terjadi di seluruh tanah air selama pendudukan Indonesia seperti pembantaian Kraras yang terjadi pada 16 september 1983 di Viqueque, Pembantaian Marabia pada 1980, dan Pembantaian 12 November Santa Cruz, 1991 di Dili.
Menteri Urusan Pejuang Pembebasan Nasional, Júlio Sarmento da Costa mengatakan pemerintah telah bekerja dalam upaya untuk menghormati semua korban yang menderita selama periode perlawanan.
”Kami sedang bekerja keras untuk mengumpulkan data korban dan penyintas untuk membuktikan penyintas dan identitas korban yang sebenarnya dan dari kota mana,” kata Júlio Sarmento.
Dikatakan, Pemerintah sedang bekerja untuk membangun monumen di kota-kota terutama di tempat pembantaian. Monumen tersebut akan mewakili semua korban yang telah meninggal dan belum ditemukan.
Seorang korban dari Ainaro, Manuel Martins de Carvalho mengatakan Ia ingin membentuk sebuah komisi untuk melindungi mereka yang menjadi korban dan diasingkan ke Pulau Atauro.
Dikatakan, diperlukan undang-undang untuk memandu komisi agar layak mendapat pengakuan dari pemerintah.
“Lebih dari 7.000 korban harus diberikan perhatian khusus oleh pemerintah. Karena kami menderita dan diasingkan di Atauro dalam jangka waktu yang lama sejak tahun 1980 hingga Timor-Leste merdeka,’’ tuturnya.
Reporter: Cidalia Fátima
Editor : Armandina Moniz