Oleh : Ferdinando Yuke Da Cruz
Diplomasi Kemanusiaan Menuju Keanggotaan Penuh ASEAN
ASEAN seringkali dikenal dengan sebuah kawasan yang kerap diwarnai oleh diplomasi pragmatis dan kepentingan ekonomi. Di sini, Timor-Leste tampil dengan warna yang berbeda. Timor-Leste sebagai negara kecil di ujung timur Nusantara ini tampil dengan membawa sesuatu yang jarang dibicarakan dalam ruang diplomasi, seperti; nilai-nilai kemanusiaan, rekonsiliasi, dan nilai-nilai moral. Perjalanan Timor-Leste menuju keanggotaan penuh ASEAN bukan sekadar proses administratif, melainkan refleksi dari perjuangan panjang bangsa yang lahir dari luka masa lalu, bertumbuh dalam solidaritas, dan kini berusaha memberi makna baru bagi komunitas regional.
Sejak meraih kemerdekaan di tahun 2002, Timor-Leste menegaskan aspirasinya untuk menjadi bagian dari ASEAN. Secara geografis, budaya, dan sejarah, posisinya memang lebih dekat ke Asia Tenggara dibandingkan ke Asia Pasifik. Akan tetapi, perjalanan menuju keanggotaan tidaklah mudah. ASEAN dikenal sangat berhati-hati menerima anggota baru untuk bergabung di dalamnya, seperti; kesiapan administratif, stabilitas politik, dan kapasitas institusional menjadi prasyarat utama.
Selama lebih dari satu dekade, Timor-Leste menjalani proses accession roadmap yang ketat. Dalam proses itu, sebagaimana dilansir dari laman JICA Website EaenforASEANAccession, 2024 diketahui diplomasi Timor Leste berfokus pada tiga hal: (1) meningkatkan citra dan visibilitas negara, (2) berpartisipasi aktif dalam kerja sama bilateral dan multilateral, serta (3) menyesuaikan kebijakan domestik agar sejalan dengan standar ASEAN.
Pada tingkat ini, Indonesia juga menjadi salah satu negara yang paling konsisten mendampingi Timor- Leste. Lewat berbagai program pelatihan, konsultasi kebijakan, dan dukungan teknis, Indonesia membantu memperkuat kesiapan Timor-Leste untuk menjadi anggota penuh ASEAN. Mantan Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi pernah menegaskan bahwa; “Dukungan ini bukan sekadar formalitas, tetapi bagian dari tanggung jawab moral sebagai sesama bangsa di kawasan karena Indonesia ingin melihat Timor-Leste tumbuh sebagai bagian dari keluarga besar ASEAN.” (ANTARA News, 2019). Hal ini ditegaskan lebih lanjut lagi oleh Sugiono sebagai Menteri Luar Negeri Indonesia yang sekarang dengan menerima kunjungan kerja Menteri Luar Negeri Timor-Leste Bendito dos Santos Freitas di kantor Kementrian Luar Negeri Jakarta pada Maret 2025 lalu.
Dalam pertemuan tersebut, Sugiono menegaskan komitmen Indonesia sebagai mitra pembangunan Timor-Leste dengan mengatakan bahwa; “Indonesia siap memperkuat dukungan untuk pembangunan nasional Timor-Leste melalui kolaborasi lebih lanjut.” Oleh karena itu, keduanya sama-sama menegaskan komitmen untuk memperkuat kerjasama bilateral kedua negara (tempo.co., 2025). Selain Indonesia, Malaysia juga berperan aktif dengan membiayai unit ASEAN di Dili sebagai langkah konkret yang mempercepat integrasi administratif negara tersebut. (Malaysia Spearheading EffortsforTimor-Leste’s ASEAN Membership.The Star, 2025). Akan tetapi, di balik semua langkah teknis itu, Timor-Leste membawa sesuatu yang lebih bernilai, seperti; semangat kemanusiaan yang lahir dari pengalaman sejarah dan keyakinan iman.
Menghidupi Nilai-nilai Kemanusiaan dari Sejarah Masa Lalu
Tidak banyak negara di kawasan ini yang memiliki sejarah semenantang dan semenyentuh Timor-Leste. Setelah lebih dari dua dekade berada dalam konflik dan ketegangan, bangsa ini memilih jalan damai dan rekonsiliasi ketika memperoleh kemerdekaannya dari Indonesia. Tahun 1999 menjadi titik balik referendum yang menentukan masa depan Timor-Leste diwarnai kekerasan, penderitaan, dan kehilangan. Namun, alih-alih menumbuhkan kebencian, pengalaman itu membentuk kesadaran kolektif akan pentingnya pengampunan dan kemanusiaan.
Di sini, Gereja Katolik sebagai aktor non-negara memainkan peran sentral dalam proses tersebut. Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo dan José Ramos-Horta bahkan menerima Nobel Perdamaian tahun 1996 karena upayanya memperjuangkan kemerdekaan dengan damai. Sejak itu, nilai-nilai kemanusiaan seperti; solidaritas, keadilan sosial, dan penghormatan terhadap martabat manusia menjadi inti dari identitas nasional Timor-Leste. Nilai-nilai ini bukan hanya ajaran iman, tetapi juga hasil refleksi mendalam atas pengalaman pahit masa lalu. Dalam konteks ASEAN, semangat tersebut menjelma menjadi diplomasi moral; sebuah bentuk diplomasi yang berangkat dari hati, bukan hanya kepentingan negara.
Dalam dinamika diplomasi modern, kekuatan lunak atau softpowersering kali menjadi senjata paling ampuh bagi negara kecil. Timor-Leste menyadari hal ini. Dengan penduduk yang hampir seluruhnya beragama Katolik, negara ini menampilkan karakter unik di antara anggota ASEAN yang mayoritas non- Katolik. Softpower Timor-Leste bertumpu pada nilai-nilai kemanusiaan yang berakar pada tradisi Katolik, seperti; cinta kasih, perdamaian, dan pengampunan. Gereja di Timor-Leste bukan hanya lembaga keagamaan, tetapi juga motor sosial yang berperan dalam pendidikan, kesehatan, dan pembangunan masyarakat. MenurutVaicanNews, Gereja Katolik di Dili menjadi salah satu institusi paling dipercaya oleh rakyat sebgai simbol moral dan spiritual yang menjaga arah bangsa. (News, 2024). Pada posisi ini, pemerintah Timor-Leste memanfaatkan peran tersebut dalam diplomasi publik melalui kegiatan seni seperti; budaya dan dialog antariman. Pameran budaya, festival musik rohani, dan proyek pendidikan lintas negara menjadi sarana untuk memperkenalkan wajah kemanusiaan Timor-Leste. Hal ini dikarenakan Timor-Leste ingin berupaya membangun citra positif di mata komunitas internasional.
Kunjungan Paus Fransiskus; Diplomasi Moral di Panggung Global
Kekuatan softpowerTimor-Leste mendapat pengakuan internasional pada September 2024, ketika Paus Fransiskus melakukan kunjungan apostolik ke Dili. Kunjungan tersebut merupakan kunjungan kedua dari pemimpin tertinggi Gereja Katolik Roma di seluruh dunia ke Timor-Leste. Kunjungan apostolik pertama saat itu oleh Paus Yohanes Paulus II ketika Timor Leste masih menjadi bagian dari Indonesia sebagai provinsi Timor Timur pada Oktober 1989. Dalam kunjungan apostolik Paus Fransiskus ke Dili tersebut, diketahui Lebih dari 600.000 umat hadir dalam Misa akbar di Lapangan Tasi Tolu, menjadikan peristiwa tersebut salah satu pertemuan rohani terbesar dalam sejarah negara itu. Dalam homilinya, Paus Fransiskus menyerukan agar rakyat Timor-Leste “terus menjadi pembawa damai dan pengharapan di dunia yang penuh luka” (Reuters, 2024). Pesan itu melampaui batas agama. Dunia melihat bagaimana negara kecil yang miskin akan sumber daya alam tetapi kaya dalam nilai kemanusiaan dan spiritualitas.
Kunjungan Paus juga memperkuat posisi moral Timor-Leste di ASEAN. Di tengah dinamika geopolitik yang sering keras dan penuh kompromi, kehadiran Paus seakan mengingatkan kawasan bahwa diplomasi tidak hanya soal strategi, tetapi juga soal hati. Di tempat lain, hampir semua negara melihat pengalaman pahit masa lalu telah membentuk cara Timor-Leste memandang dunia. Bangsa ini tahu bagaimana rasanya tertindas, kehilangan, dan kemudian berdamai. Kesadaran itu membuat mereka menempatkan martabat manusia sebagai inti dari kebijakan luar negeri.
Di titik ini, dapat dilihat diplomasi kemanusiaan Timor-Leste yang tercermin dalam tiga hal :
- Promosi perdamaian dan rekonsiliasi di tingkat regional, termasuk dukungan bagi dialog lintas etnis dan agama;
- Perlindungan hak asasi manusia sebagai prinsip utama dalam kerja sama ASEAN;
- Pemberdayaan masyarakat kecil, termasuk perempuan dan anak, sebagai bagian dari pembangunan yang berkeadilan (Ramos-Horta:Timor-Leste’sStrengthLiesinItsHumanity, Tatoli, 2025). Dengan karakter ini, Timor-Leste tidak hanya berusaha menjadi anggota ASEAN secara administratif, tetapi juga moral karena mereka ingin menjadi suara hati nurani kawasan tersebut.
ASEAN selama ini dikenal sebagai organisasi yang stabil, pragmatis, dan berorientasi ekonomi. Akan tetapi, di balik keberhasilannya, banyak pengamat menilai ASEAN kerap kehilangan “jiwa” nilai kemanusiaan dan solidaritas yang seharusnya menjadi dasar komunitas regional. Dalam konteks ini, kehadiran Timor-Leste bisa menjadi penyegar. Negara ini membawa narasi baru tentang kemanusiaan sebagai pilar diplomasi regional. Dengan sejarahnya yang sarat penderitaan namun penuh harapan, Timor-Leste menghadirkan dimensi moral yang bisa memperkaya dinamika ASEAN. Sebagaimana dikatakan José Ramos-Horta dalam pidatonya di Dili yang dilansir dari (Tatoli, 2025): “Kami mungkin kecil, tetapi kami memiliki pengalaman yang besar tentang penderitaan dan pengampunan. Dan pengalaman itu ingin kami bagikan kepada dunia.” Kata-kata itu mencerminkan esensi diplomasi Timor-Leste, yaitu lembut tapi berakar kuat pada kemanusiaan.
Menjadi Jembatan antara Asia Tenggara dan Pasifik
Selain faktor moral, posisi geografis Timor-Leste yang strategis di antara Asia Tenggara dan Asia Pasifik menjadikannya potensi jembatan antara dua kawasan. Keanggotaan penuh Timor-Leste di ASEAN akan memperluas jangkauan geopolitik organisasi ke arah Pasifik Selatan, memperkuat konektivitas antara negara-negara kecil kepulauan dan ekonomi besar di Asia. Bagi ASEAN, menerima Timor-Leste bukan hanya soal memperluas jumlah anggota, tetapi juga memperluas cakrawala nilai khususnya nilai-nilai kemanusiaan. Sementara bagi Timor-Leste sendiri, keanggotaan penuh akan menjadi validasi atas perjuangan panjangnya dari negara pasca konflik menjadi bangsa yang memberi makna baru bagi perdamaian regional.
Akhirnya, sebagai sebuah kesimpulan; Timor-Leste mungkin kecil dalam ukuran, tetapi besar dalam pesan. Di tengah dunia yang semakin sinis terhadap moralitas dalam politik, bangsa ini menunjukkan bahwa nilai-nilai kemanusiaan masih bisa menjadi kekuatan diplomasi. Pengalaman sejarah yang pahit, keyakinan yang teguh, dan komitmen terhadap solidaritas menjadikan Timor-Leste bukan sekadar calon anggota ASEAN, tetapi juga penjaga nurani kawasan. Jika ASEAN ingin tetap relevan di masa depan, ia membutuhkan bukan hanya ekonomi yang kuat atau diplomasi yang cepat, melainkan juga jiwa yang peduli sesuatu yang justru dimiliki oleh negara kecil bernama Timor-Leste.
(Penulis adalah Putra asli keturunan Timor-Leste. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta dan Magister Hubungan Internasional Universitas Pelita Harapan Jakarta. Guru di SMP Santo Yakobus Jakarta)




