(Sebuah Refleksi Kritis dari Kepentingan dan Moral Politik)
Oleh: Osorio Almeida, S.Sos
Dalam sistem demokrasi, kekuasaan seharusnya menjadi sarana untuk mengabdi, bukan tujuan untuk diperebutkan. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Banyak politisi yang tampak lebih sibuk menjaga kursinya daripada menjaga amanah rakyat yang telah mempercayakan suara mereka. Fenomena ini bukan hanya terjadi di tingkat pusat, tetapi juga di daerah menjadi semacam penyakit kronis dalam tubuh politik bangsa. Kekuasaan sejatinya adalah mandat. Dalam setiap sumpah jabatan, terselip janji untuk melayani masyarakat, menegakkan keadilan dan menyejahterakan rakyat, namun ketika kekuasaan dijadikan alat untuk memperkaya diri, memperluas pengaruh, atau menekan lawan politik, maka nilai luhur dari amanah itu sirna. Yang tersisa hanyalah ambisi-ambisi yang kerap menimbulkan konflik, intrik, bahkan pengkhianatan terhadap kepentingan publik. Sering kali, rakyat baru diingat menjelang pemilu. Janji-janji manis ditebar, kunjungan dadakan dilakukan, dan berbagai program populis digencarkan. Tapi setelah kursi berhasil diamankan, perhatian terhadap rakyat perlahan memudar. Kepentingan politik pribadi dan kelompok lebih diutamakan dibanding kebutuhan masyarakat luas. Dalam situasi seperti ini, rakyat bukan lagi subjek utama demokrasi, melainkan sekadar alat untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan.
Ketika pejabat publik lebih mementingkan kekuasaan dari pada amanah, dampak jangka panjangnya adalah runtuhnya kepercayaan rakyat terhadap sistem pemerintahan itu sendiri. Korupsi, kolusi, dan nepotisme tumbuh subur karena kekuasaan dijadikan komoditas, bukan tanggung jawab moral. Akibatnya, masyarakat menjadi apatis, sinis terhadap politik, bahkan tidak mau menggunakan hak pilihnya karena merasa semua sama saja, tak ada yang benar-benar memihak rakyat. Sudah saatnya kita mengembalikan makna kekuasaan kepada hakikatnya: pelayanan bukan penguasaan. Pemimpin sejati tidak takut kehilangan jabatan, karena yang ia jaga bukan kursinya, melainkan kepercayaannya. Ia memahami bahwa kekuasaan hanyalah titipan yang akan dimintai pertanggungjawaban, bukan trofi yang harus dipertahankan dengan segala cara. Rakyat juga punya peran penting dalam perubahan ini. Kita tidak boleh berhenti mengawasi, bersuara, dan menuntut integritas dari mereka yang memimpin. Demokrasi yang sehat hanya akan lahir jika rakyat berdaya dan pemimpin berjiwa amanah. Ketika kursi kekuasaan lebih penting daripada amanah rakyat, maka demokrasi kehilangan jiwanya. Yang tersisa hanyalah panggung kekuasaan tanpa moral, kebijakan tanpa nurani, dan janji tanpa makna. Kita butuh pemimpin yang lebih takut kehilangan kepercayaan rakyat daripada kehilangan jabatan. Karena sesungguhnya, kekuasaan yang sejati bukan tentang berapa lama seseorang berkuasa tetapi seberapa besar manfaat yang ia tinggalkan bagi rakyatnya.
Kekuasaan pada hakikatnya adalah amanah. Ia bukan hak milik, melainkan titipan rakyat yang harus dijaga dengan kejujuran dan kebijaksanaan. Seorang pemimpin semestinya menjadi pelayan, bukan penguasa. Namun di tengah hiruk-pikuk politik modern, idealisme itu perlahan memudar, tergantikan oleh ambisi pribadi dan kepentingan partai dan golongan. Kursi kekuasaan kini sering menjadi tujuan akhir, bukan sarana untuk berbuat baik. Banyak yang rela menukar nurani demi jabatan, melupakan janji, bahkan mengorbankan prinsip. Dalam setiap kontestasi politik, kita menyaksikan pertarungan bukan antara gagasan, melainkan antara kekuatan modal dan jaringan. Janji-janji politik berubah menjadi alat tawar, bukan niat tulus untuk mensejahterakan rakyat. Secara umum, kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk memengaruhi, mengarahkan, dan mengendalikan perilaku orang lain agar bertindak sesuai dengan kehendaknya. Dalam konteks politik dan sosial, kekuasaan menjadi instrumen penting dalam menciptakan keteraturan, menegakkan keadilan, dan mencapai tujuan bersama. Namun, kekuasaan bukan sekadar alat untuk mengatur, ia juga mengandung dimensi moral dan dimensi psikologis. Di sinilah muncul dua sisi yang sering bertentangan: pengabdian dan hasrat.
Kekuasaan sebagai Pengabdian
Kekuasaan sebagai pengabdian berarti menjadikan posisi dan wewenang yang dimiliki sebagai sarana untuk: Melayani masyarakat, bukan dilayani, Mewujudkan kebaikan bersama (bonum commune), Menegakkan keadilan dan kesejahteraan dan Menjadi perpanjangan tangan nilai-nilai moral dan kemanusiaan.
Dalam pandangan ini, kekuasaan dipahami sebagai amanah, bukan hak milik pribadi. Beberapa tokoh dan pandangan yang mendukung perspektif ini antara lain: Max Weber (dalam konteks otoritas legal-rasional): Kekuasaan sah jika dijalankan berdasarkan aturan dan tanggung jawab moral; Plato dan Aristoteles: Penguasa ideal adalah philosopher-king, pemimpin yang bijak, berpengetahuan, dan berorientasi pada kebaikan; Pandangan modern: Kepemimpinan yang melayani (servant leadership), yang menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi.
Jadi inti kekuasaan sebagai pengabdian, kekuasaan adalah sarana untuk memperjuangkan nilai-nilai luhur, keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan. Ia bersumber dari kehendak untuk berbuat baik. Menurut Friedrich Nietzsche, manusia memiliki will to power, kehendak untuk berkuasa yang merupakan inti eksistensi dan dorongan utama dalam kehidupan. Sementara Lord Acton memperingatkan: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” (Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan yang mutlak cenderung korup secara mutlak.) Ketika kekuasaan dijalankan berdasarkan hasrat semata, maka ia berubah menjadi alat penindasan. Beberapa bentuk penyimpangan kekuasaan akibat hasrat antara lain; Korupsi kekuasaan (abuse of power); Otoritarianisme dan tirani; Nepotisme dan penyalahgunaan jabatan; Manipulasi hukum dan opini pu2blik
Dalam kenyataan, kekuasaan tidak pernah sepenuhnya murni pengabdian atau sepenuhnya hasrat. Keduanya hadir dalam ketegangan dialektis. Seorang pemimpin yang baik harus: Menyadari adanya hasrat dalam dirinya (ambisi, keinginan untuk berhasil), Mengendalikannya dengan nilai moral dan tanggung jawab sosial, Mengubah hasrat itu menjadi energi positif untuk melayani dan memperbaiki keadaan.
Implikasi dalam Kehidupan Sosial dan Politik. Dalam praktik politik dan pemerintahan, kekuasaan sangat menentukan arah bangsa: Pertama: Jika kekuasaan dijalankan dengan semangat pengabdian maka rakyat sejahtera, negara stabil, dan moral publik terjaga. Kedua: Jika kekuasaan dijalankan berdasarkan hasrat pribadi maka muncul korupsi, ketimpangan, dan ketidakadilan. Oleh karena itu, dibutuhkan mekanisme etika dan sistem pengawasan (checks and balances) agar kekuasaan tetap berada di jalur pengabdian. Selain itu, pendidikan moral dan spiritual penting untuk membentuk karakter pemimpin yang berjiwa melayani. Dengan demikian, kekuasaan adalah pisau bermata dua, dapat menjadi alat pengabdian yang luhur atau instrumen penindasan yang kejam. Semuanya tergantung pada niat, orientasi, dan moralitas orang yang memegangnya. OLeh karena itu kekuasaan sejati bukanlah kemampuan untuk memerintah, melainkan keberanian untuk mengabdi. Pemimpin besar bukan yang paling berkuasa, tetapi yang paling melayani.
Ironisnya, rakyat yang mestinya menjadi pusat perhatian justru sering dijadikan alat. Di masa kampanye, mereka dielu-elukan, dipeluk, dicium dijanjikan berbagai kemudahan. Tapi setelah kursi diduduki, suara rakyat mendadak lenyap, tenggelam di balik rapat-rapat elitis, espedisi politik yang penuh hura-hura dan hedonis serta keputusan yang sarat kepentingan kelompok. Amanah rakyat seharusnya menjadi kompas moral setiap pemimpin. Namun ketika kekuasaan sudah mengaburkan pandangan, maka suara nurani pun sulit terdengar. Pemimpin yang sejati bukan yang pandai berbicara, melainkan yang sanggup mendengar. Ia bukan yang haus pujian, tapi yang siap menerima kritik. Sebagimana dikatakan oleh Mantan Presiden Timor-Leste, General Taur Matan Ruak, bahwa seorang teman baik adalah dia yang berusaha untuk mengkritik ketika kita melangkah salah. Sayangnya, banyak yang lebih takut kehilangan jabatan daripada kehilangan kepercayaan rakyat.
Ungkapan “Rakyat: Sekedar Tangga Menuju Puncak” adalah kritik tajam terhadap praktik politik yang menjadikan rakyat hanya sebagai alat untuk mencapai kekuasaan, bukan sebagai tujuan utama pemerintahan. Dalam konteks ini, rakyat sering kali dijanjikan kesejahteraan, keadilan, dan perubahan, namun setelah kekuasaan diraih, mereka terlupakan. Kalimat ini mencerminkan fenomena klasik dalam politik, relasi timpang antara penguasa dan yang dikuasai. Secara ideal, rakyat adalah subjek politik, artinya mereka memiliki kedaulatan tertinggi dalam sistem demokrasi. Mereka memilih, mengawasi, dan berhak menuntut pemimpin yang menjalankan mandat mereka. Namun dalam praktiknya, rakyat sering diposisikan sebagai objek politik, sekedar angka dalam perhitungan suara, massa yang digerakkan, atau simbol legitimasi kekuasaan. Ketika proses pemilihan berlangsung, suara rakyat dianggap suci dan menentukan. Tetapi ketika kekuasaan telah diraih, suara itu menjadi gema yang memudar di ruang kosong.
Fenomena “rakyat sebagai tangga” tampak jelas dalam cara elit politik menggunakan isu-isu rakyat untuk membangun citra. Beberapa pola yang sering muncul: Pertama: Populisme semu: Pemimpin berusaha tampil “dekat dengan rakyat” dengan retorika sederhana, aksi simbolik (seperti turun ke pasar, jalan-jalan bagi-bagi rejeki, atau ikut terlibat secara langsung ketika ada banjir, membersihkan drainase dan lain-lain), namun tidak diiringi kebijakan substantif yang berpihak pada rakyat. Kedua: Janji elektoral tanpa realisasi: Visi dan misi kampanye penuh jargon kerakyatan, kesejahteraan, lapangan kerja, upah minimum, harga sembago dinormalkan tetapi setelah berkuasa, prioritas bergeser ke kepentingan oligarki atau elite partai. Ketiga: Eksploitasi emosi massa: Isu kesenjangan sosial digunakan untuk menarik simpati rakyat, bukan untuk diselesaikan secara struktural.
Dengan demikian, kepentingan rakyat bukanlah dasar kebijakan, melainkan instrumen untuk memperkuat kekuasaan. Demokrasi menjanjikan bahwa kekuasaan berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Namun, dalam praktik politik modern, demokrasi sering direduksi menjadi ritual electoral lima tahunan. Setelah itu, relasi kuasaan kembali menjadi vertikal: rakyat di bawah, penguasa di atas. Ini menimbulkan paradoks demokrasi: rakyat memberikan kekuasaan, namun kehilangan kendali atasnya. Elite yang seharusnya menjadi pelayan rakyat berubah menjadi tuan. Janji keterwakilan berubah menjadi pengkhianatan terhadap mandat. Fenomena ini terjadi di banyak negara demokratis yang tersandera oleh politik uang, media, dan oligarki ekonomi. Akibatnya, demokrasi kehilangan substansi dan berubah menjadi teater kekuasaan. Menjadikan rakyat sekadar tangga adalah bentuk korupsi moral politik. Kekuasaan yang seharusnya dijalankan untuk pelayanan publik berubah menjadi alat pemenuhan ambisi pribadi dan kelompok. Dari perspektif etika politik, kekuasaan memiliki tanggung jawab moral, bukan hanya legalitas formal. Pemimpin sejati tidak memandang rakyat sebagai sarana, tetapi sebagai tujuan dari setiap kebijakan. Dalam konteks ini, kita bisa mengutip gagasan filsuf politik seperti Immanuel Kant, yang menekankan bahwa manusia (termasuk rakyat) tidak boleh diperlakukan semata-mata sebagai alat (means), melainkan selalu sebagai tujuan (end). Ketika rakyat dijadikan tangga, prinsip moral ini dilanggar secara fundamental.
Masalah utama bukan hanya pada elite, tetapi juga pada kesadaran rakyat. Ketika rakyat mudah dibeli suaranya, mudah dipengaruhi emosi sesaat, dan tidak kritis terhadap janji politik, mereka secara tidak langsung memperkuat sistem “tangga menuju puncak” itu sendiri. Perubahan sejati menuntut rakyat yang sadar dan berdaya bukan sekadar massa pasif. Kesadaran politik rakyat harus beralih dari konsumsi janji menjadi partisipasi kritis: mengawasi, mengevaluasi, bahkan menolak ketika kekuasaan melenceng. Untuk mengakhiri pola rakyat sebagai tangga, diperlukan dua hal utama: Pertama: Etika kekuasaan, Pemimpin harus mengembalikan orientasi kekuasaan kepada pengabdian, bukan penguasaan. Transparansi, akuntabilitas, dan integritas harus menjadi fondasi politik. Kedua: Emansipasi rakyat, Pendidikan politik, kebebasan informasi, dan ruang partisipasi harus diperluas agar rakyat bisa menjadi subjek aktif, bukan obyek manipulasi.
Demokrasi sejati tidak hanya terjadi saat pemilihan umum, tetapi setiap hari ketika rakyat terlibat dalam keputusan publik dan kebijakan sosial. Ungkapan “Rakyat: Sekadar Tangga Menuju Puncak” adalah cermin sinis dari realitas politik yang kehilangan nurani. Ia mengingatkan kita bahwa kekuasaan tanpa moral akan menjadikan rakyat korban dari ambisi. Namun, kalimat itu juga dapat menjadi panggilan kesadaran, agar rakyat tidak lagi rela menjadi tangga, melainkan menjadi fondasi yang kokoh bagi kekuasaan yang adil dan berkeadaban. Sebab dalam demokrasi yang sehat, puncak sejati bukanlah kursi kekuasaan, melainkan kesejahteraan rakyat itu sendiri.
Politik tanpa moral ibarat tubuh tanpa jiwa, bergerak tapi tanpa arah. Ketika moral tersingkir dari ruang kekuasaan, yang tersisa hanyalah kalkulasi dingin: siapa kuat, siapa kalah, siapa bisa dibeli, siapa bisa dijatuhkan. Padahal, politik seharusnya menjadi seni mengelola perbedaan demi kebaikan bersama, bukan ajang untuk memuaskan ego. Kita bisa melihat bagaimana kepentingan publik kerap dikorbankan demi negosiasi kursi dan posisi. Undang-undang dibuat bukan berdasarkan kebutuhan rakyat, melainkan demi menjaga stabilitas koalisi dan kepentingan politik semata. Kebijakan lahir bukan dari nurani, tapi dari tekanan lobi dan transaksi politik. Dalam situasi seperti ini, kejujuran menjadi barang langka, dan integritas terasa seperti kemewahan. Di antara hiruk-pikuk kontestasi kekuasaan, politik kerap tampil sebagai panggung gemerlap yang memabukkan. Janji ditebar, jargon digemakan, dan wajah-wajah tampil penuh percaya diri di hadapan publik. Namun di balik semua itu, ada satu hal yang perlahan tapi pasti terkikis, roh politik itu sendiri. Ketika politik kehilangan rohnya/jiwanya, ia berubah dari alat pengabdian menjadi sekadar mekanisme perebutan kekuasaan; dari upaya luhur menata kehidupan bersama menjadi permainan strategi tanpa jiwa.
Politik sejatinya lahir dari cita luhur: bagaimana manusia mengatur diri dalam kebersamaan, menegakkan keadilan, dan mengusahakan kebaikan publik. Aristoteles menyebut manusia sebagai zoon politikon, makhluk yang hanya dapat mencapai kebaikan tertinggi melalui kehidupan berpolitik. Artinya, politik bukan semata tentang siapa yang berkuasa, melainkan tentang bagaimana kekuasaan digunakan untuk melayani yang lemah, menegakkan keadilan, dan menjaga martabat manusia. Roh politik terletak pada etika dan moralitas kekuasaan. Ia hidup ketika kebijakan dilandaskan pada nurani, ketika keputusan diambil dengan tanggung jawab moral, dan ketika kepemimpinan dimaknai sebagai amanah, bukan kesempatan untuk memperkaya diri. Politik yang berhati, dengan demikian, bukan tentang manipulasi citra, melainkan tentang keberanian menegakkan nilai. Namun kini, roh itu kian pudar. Politik kita seakan kehilangan napas etiknya. Indikasinya tampak jelas dalam beberapa gejala berikut: Pertama: politik berubah menjadi arena transaksional. Kekuasaan tidak lagi dicapai melalui perjuangan ide, melainkan lewat negosiasi kepentingan dan perhitungan untung-rugi. Ideologi bergeser menjadi sekadar kosmetik; yang utama hanyalah posisi dan keuntungan. Kedua: bahasa politik kehilangan kesakralannya. Ia tidak lagi menjadi alat komunikasi gagasan, tetapi instrumen manipulasi. Janji menjadi retorika kosong, dan kata-kata yang semestinya menyalakan harapan justru menipu nurani rakyat. Ketiga: munculnya sikap apatis di masyarakat. Ketika rakyat melihat politik sebagai dunia yang kotor dan penuh kepalsuan, maka sesungguhnya roh politik telah benar-benar lenyap. Sebab, politik yang sehat seharusnya membangkitkan partisipasi, bukan menjauhkan rakyat dari urusan publik.
Dalam politik modern, wajah sering lebih penting dari watak. Para politisi berlomba menciptakan citra: merakyat di depan kamera, berwibawa di panggung debat, dan santun dalam slogan. Namun di balik semua itu, substansi politik sering kali kosong. Politik menjadi pertunjukan estetika tanpa etika, panggung di mana penampilan mengalahkan isi. Kita menyaksikan bagaimana politik dipasarkan layaknya komoditas. Rakyat menjadi konsumen yang dibujuk oleh iklan dan citra, bukan warga negara yang diajak berpikir dan berdialog. Ketika politik menjadi industri pencitraan, roh yang seharusnya menuntunnya kejujuran, pengabdian, tanggung jawab moral perlahan terkubur di bawah kepentingan elektoral. Meski tampak suram, politik tidak harus kehilangan rohnya selamanya. Ada cara untuk menyalakan kembali api itu dan semuanya berawal dari kesadaran moral dan keberanian etis. Roh politik akan kembali hidup ketika pemimpin menyadari bahwa kekuasaan adalah titipan, bukan milik. Ia hidup ketika rakyat menolak dibodohi dan mulai menuntut transparansi. Ia akan menyala ketika pendidikan politik ditanamkan bukan sekadar untuk memenangkan suara, tetapi untuk membentuk warga negara yang berpikir kritis dan bermoral. Politik yang berjiwa adalah politik yang mendengar suara hati, bukan hanya suara mayoritas. Ia menolak pragmatisme yang menindas nilai. Ia mengembalikan makna “berjuang untuk rakyat” dari slogan menjadi tindakan nyata.
Mungkin pertanyaan paling jujur adalah: apakah politik yang kehilangan roh, atau kita yang menanggalkan rohnya? politik, bagaimanapun, hanyalah refleksi dari manusia yang menjalankannya. Jika kita, para pemilih, para pemimpin, para intelektual, para aktifis, para rohaniawan dan rohaniawati membiarkan kepalsuan menggantikan kebenaran, maka kitalah yang mengusir roh itu pergi. Maka tugas kita bukan sekadar mengkritik, melainkan menghidupkan kembali kesadaran bahwa politik adalah ruang moral, ruang di mana keadilan, empati, dan keberanian harus menuntun keputusan. Tanpa roh, politik hanyalah tubuh tanpa kehidupan: bergerak, tapi tak tahu arah; kuat, tapi tanpa makna.
Amanah adalah sesuatu yang suci. Ia menuntut tanggung jawab, kesetiaan pada nilai, dan keberanian untuk berkata benar meski tak populer. Tapi bagi sebagian politisi, amanah berubah menjadi komoditas: dijual, ditukar, dinegosiasikan. Janji kepada rakyat pun tak lebih dari formalitas, sementara tindakan nyata sering kali hanya berpihak pada segelintir orang. Padahal sejarah selalu mencatat: kekuasaan yang dijalankan tanpa amanah pasti berujung pada kehancuran. Kekuasaan tanpa moral ibarat api tanpa kendali mampu membakar bahkan tangan yang menyalakannya. Tak ada kekuasaan yang abadi; yang abadi hanyalah nama baik dan warisan moral yang ditinggalkan.
Dalam konteks sosial-politik, amanah adalah pondasi kepercayaan publik. Tanpa amanah, tidak ada legitimasi; tanpa legitimasi, kekuasaan berubah menjadi tirani. Sementara dalam konteks ekonomi, amanah adalah sumber keberkahan tanpa kejujuran, transaksi berubah menjadi manipulasi, dan keberkahan berganti dengan keserakahan. Sayangnya, nilai luhur itu kini sering tergadaikan. Bukan karena tidak dipahami, tetapi karena diperjualbelikan dengan harga yang murah, bahkan lebih murah dari gengsi dan ambisi pribadi.
Fenomena tergadainya amanah berakar dari tiga krisis utama: Pertama: Krisis Spiritual, ketika hati kehilangan kesadaran ilahi, amanah dianggap beban, bukan kehormatan. Padahal, amanah sejatinya adalah panggilan jiwa yang menuntut kesetiaan pada Tuhan, bukan pada ego. Kedua: Krisis Integritas, budaya instan, haus pengakuan, dan tekanan sosial membuat manusia mudah tergoda untuk mencari jalan pintas. Integritas menjadi korban, dan kejujuran menjadi barang langka. Ketiga: Krisis Sistemik, Ketika sistem sosial tidak memberi ruang bagi kejujuran untuk hidup, misalnya melalui birokrasi yang korup atau kompetisi yang tidak sehat maka amanah meski kelam, harapan belum padam. Di berbagai penjuru negeri, masih ada pemimpin yang bekerja dengan hati, bukan hanya strategi. Mereka yang memilih berdiri bersama rakyat, bukan di atas rakyat. Mereka yang menjadikan jabatan sebagai ladang pengabdian, bukan sumber kemewahan. Rakyat pun memiliki peran besar. Amanah sejati tidak akan kembali kepada pemimpin yang tamak, jika rakyat masih memilih karena iming-iming sesaat. Demokrasi hanya akan kuat bila rakyat berani menuntut integritas, bukan sekadar popularitas. Saat rakyat sadar akan kekuatannya, maka kursi kekuasaan akan kembali menjadi tempat pengabdian, bukan tahta kebanggaan.
Dalam denyut kehidupan modern yang kian deras, manusia sering terperangkap dalam lembah nilai yang kabur. Kita hidup di zaman di mana kemajuan teknologi melesat tanpa henti, namun nurani justru tertinggal di belakang. Masyarakat tampak sibuk membangun gedung-gedung tinggi, tetapi di dalamnya, fondasi moral perlahan retak. Fenomena ini melahirkan apa yang disebut “kelesuan moral” sebuah kondisi ketika hati nurani kehilangan kepekaannya, dan kebenaran dikaburkan oleh kepentingan pribadi. Kelesuan moral bukan sekadar kemerosotan etika individu, melainkan gejala sosial yang mengakar. Ia tampak dalam perilaku sehari-hari: kejujuran dianggap naif, tanggung jawab dipandang beban, dan empati sering kali dikalahkan oleh ambisi. Kita melihat korupsi bukan lagi sebagai skandal luar biasa, tetapi sebagai rutinitas yang diterima dengan sinis. Di media sosial, kata-kata yang melukai dijadikan hiburan, dan kebaikan sering dituduh pencitraan.
Kelesuan ini lahir dari tiga sebab utama. Pertama, relativisme moral, ketika setiap nilai dianggap relatif dan tidak ada kebenaran universal. Kedua, individualisme ekstrem, di mana keberhasilan pribadi menjadi ukuran tertinggi tanpa memperhatikan kepentingan bersama. Ketiga, keletihan spiritual, yakni kekosongan batin yang ditutupi oleh gemerlap materialisme. Dalam suasana seperti ini, nurani tak lagi menjadi kompas, melainkan hanya gema samar di tengah hiruk-pikuk dunia. Zaman modern menuntut efisiensi dan hasil instan. Namun, di balik tuntutan itu, kita kehilangan sesuatu yang lebih mendasar: kebijaksanaan moral. Pendidikan sering hanya berorientasi pada kompetensi kognitif, bukan karakter. Media lebih banyak menampilkan sensasi daripada refleksi. Akibatnya, generasi muda tumbuh dalam atmosfer pragmatis, berpikir cepat, bertindak spontan, tetapi kurang merenung.
Di sinilah letak paradoks zaman kita: semakin pintar manusia, semakin sulit ia menemukan makna. Seolah kemajuan teknologi memperluas cakrawala dunia, tetapi mempersempit cakrawala hati. Namun, sejarah menunjukkan bahwa setiap zaman suram selalu melahirkan lentera. Harapan tidak pernah benar-benar padam, meski redup. Ia hidup di hati orang-orang yang masih berani berbuat baik, walau dunia mengejek. Harapan tidak tumbuh dari kekuasaan atau kemewahan, tetapi dari kesadaran moral yang tulus. Harapan itu dapat bersemi melalui pendidikan moral yang membebaskan, bukan yang sekadar menghafal norma. Pendidikan semacam ini menumbuhkan kesadaran kritis, bahwa moralitas bukan beban, melainkan jalan menuju kemanusiaan yang utuh. Selain itu, keteladanan menjadi bahasa moral yang paling ampuh. Satu tindakan jujur lebih bergaung daripada seribu nasihat moralistik.
Tanpa moralitas, peradaban hanya menjadi tubuh tanpa jiwa. Teknologi bisa membuat hidup lebih mudah, tetapi hanya moral yang membuat hidup lebih layak. Harapan sejati bukanlah tentang menunggu keadaan membaik, melainkan tentang membangun kebaikan di tengah keadaan yang buruk. Ketika satu orang memilih untuk tidak menipu, satu guru memilih untuk mendidik dengan hati, satu pemimpin menolak korupsi, dan satu anak muda berani berkata jujur di sanalah peradaban mulai pulih. Kelesuan moral memang nyata, tetapi lebih nyata lagi adalah kekuatan manusia untuk bangkit. Seperti fajar yang tak dapat dicegah oleh malam, moralitas akan selalu menemukan jalannya kembali selama masih ada hati yang percaya pada kebaikan.
Kepemimpinan sejati bukan diukur dari tinggi jabatan, melainkan dari seberapa dalam ia memikul tanggung jawab. Seorang pemimpin sejati tahu bahwa setiap keputusan yang diambil adalah pertaruhan moral, bukan sekadar strategi politik. Ia sadar bahwa kekuasaan adalah ujian kejujuran, keberanian, dan ketulusan. Saat kursi kekuasaan lebih penting daripada amanah rakyat, maka demokrasi kehilangan jiwanya. Tapi ketika amanah rakyat kembali dijunjung lebih tinggi daripada kepentingan pribadi, di sanalah makna sejati dari kepemimpinan lahir kembali: melayani, bukan menguasai; mengayomi, bukan menindas; menepati janji, bukan mengkhianati kepercayaan. (*)
Penulis saat ini sedang menyelesaikan Studi Program Administrasi publik Pascasarjana Universitas Negeri Gorontalo




