DILI, 03 juni 2022 (TATOLI)— Organsiasi Pangan Dunia (WFP) menilai kelangkaan minyak nabati yang dihadapi seluruh negara di dunia saat ini karena, faktor perubahan iklim yang berdampak pada dinamika harga, produksi, dan kebijakan minyak nabati itu sendiri, serta diperparah oleh konflik antara Rusia dan Ukraina.
Minyak nabati adalah sekelompok lemak yang berasal dari biji-bijian, kacang-kacangan, biji-bijian sereal, dan buah-buahan. Secara global, minyak makanan utama yang dikonsumsi sebagai minyak goreng dan minyak salad termasuk lobak, kedelai, bunga matahari, inti sawit dan sawit.
Dalam laporan yang diluncurkan WFP pada 02 juni 2022 di Timor-Leste, dijelaskan Indonesia dan Malaysia menyumbang 92% dari total ekspor minyak sawit pada 2019-2021. Produsen utama lainnya termasuk Ukraina dan Rusia (minyak bunga matahari), Kanada (minyak lobak), Brasil, Argentina, dan Paraguay (minyak kedelai).
Berita terkait : Harga minyak goreng melonjak, Kementerian MTKI lakukan survei
Belakangan ini, pasokan minyak nabati dunia terhambat oleh perubahan iklim seperti terjadinya, gelombang panas di Kanada, dan kekeringan di Amerika Selatan. Sementara, Malaysia menghadapi kekurangan tenaga kerja. Sementara itu, konflik di Ukraina menambah distorsi pasokan tersebut.
Ketika harga minyak dunia melonjak karena pasokan yang rendah, pemerintah Indonesia mulai membatasi ekspor minyak sawit pada Februari 2022 yang memuncak menjadi larangan ekspor total pada April 2022 dengan tujuan untuk memastikan pasokan domestik yang cukup dan stabilisasi harga.
Secara lokal, minyak sayur merupakan komponen penting dari makanan utama. Minyak sawit adalah jenis minyak yang paling banyak dikonsumsi sementara minyak kacang tanah, minyak kelapa, dan minyak zaitun juga populer. Konsumsi minyak nabati telah meningkat secara signifikan sebagaimana tercermin dari volume impor.
Berita terkait : Kreativu Furak : Kelangkaan minyak goreng berdampak pada harga yang terus melonjak
Sebanyak 13.400 metrik ton diimpor pada tahun 2021, meningkat 36 persen dari tahun sebelumnya dan hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2018. Dalam empat tahun terakhir, kesenjangan antara kebutuhan (diperkirakan 20 gram per orang/per hari) vis-à-vis impor telah menurun secara signifikan hingga tingkat keseimbangan pada tahun 2020.
Selanjutnya, pada tahun 2021, impor yang jauh lebih tinggi dari kebutuhan yang hampir 40 persen mungkin dapat dikaitkan dengan program ‘Cesta Basica’(Keranjang Pangan).
Timor-Leste terutama mengimpor minyak nabati dari Indonesia. Pada kuartal pertama 2022, sekitar 2.074 metrik ton diimpor dan kurang dari 1 ton yang diimpor pada Maret 2022. Itu cerminan dari hambatan perdagangan memasak dan Indonesia menghentikan import minyak yang diberlakukan pada Februari 2022. Akibatnya, harga melonjak hingga mengalami rekor tertinggi.
Meskipun pencabutan larangan pada minggu ketiga Mei yang telah membawa beberapa kelegaan, harga rata-rata Mei 2022 tetap tinggi. Tercatat US$ 2,6 per kg, 36 persen lebih tinggi dari bulan sebelumnya dan lebih dari dua kali lipat tahun lalu.
Perlu dicatat, sumber-sumber alternatif saat ini kemungkinan akan datang dengan biaya yang meningkat karena melonjaknya biaya pengiriman dan asuransi.
Persamaan produksi tetap tidak berkembang. Industri produksi minyak nabati di Timor masih dalam tahap awal karena diperkirakan kurang dari 600 metrik ton telah diproduksi pada tahun 2021, dan kemungkinan besar untuk tahun 2022. Volume ini setara dengan 24 hari kebutuhan nasional.
Timor-Leste memiliki potensi untuk meningkatkan produksinya secara signifikan hingga lebih dari 3 bulan memenuhi kebutuhan minyak nasional dalam jangka menengah dan panjang. Hal ini didasarkan pada produksi kelapa, kacang tanah, kedelai yang relatif tinggi yang produksinya pada tahun 2021 diperkirakan masing-masing sebesar 7.600, 4.300 dan 900 metrik ton.
Selain itu, sejumlah besar lahan potensial yang dapat ditanami tetap tidak digunakan sesuai dengan Kementerian Pertanian dan Perikanan yang dapat meningkatkan produksi tanaman minyak nabati.
Sementara itu, WHO menilai, dengan peningkatan substansial dalam konsumsi minyak nabati, mungkin sudah saatnya untuk memulai beberapa tingkat perubahan perilaku konsumen tentang masalah kesehatan pada penggunaan minyak yang melebihi 20g.
Reporter: Cidalia Fátima
Editor : Armandina Moniz