DILI, 30 Maret 2025 (TATOLI)– Konferensi Episkopal Timor (CET –portugis) telah mengeluarkan Surat Partoral dari para Uskup di Timor-Leste bagi para Nasrani dalam Masa Prapaskah dan Paskah 2025 dengan tema “Kristus Yang Bangkit Adalah Harapan Kita”.
Surat Pastoral tersebut disiapkan langsung oleh Ketua CET dan Uskup Diosis Maliana, Dom Norberto do Amaral, Uskup Agung Dili dan Pro-Ketua CET, Dom Virgílio Kardinal do Carmo da Silva, SDB, Uskup Diosis Baucau dan Sekretaris Jenderal CET, Dom Leandro Maria Alves, untuk para imam, diakon, biarawati, bruder, seminaris, dan seluruh umat Kristiani yang menantikan keselamatan-Nya,
Kitab Suci menceritakan tentang dua murid Yesus yang masih ragu dan tidak percaya pada Misteri Paskah yang telah diberitakan oleh para nabi. Salah satu ayat yang menggambarkan keraguan ini terdapat dalam Lukas 24:21, “Tetapi hari ini, sudah tiga hari dan tidak terjadi apa-apa.”
Pengalaman hampa di Emaus yang dialami Kleopas dan rekannya merupakan pengalaman individu atau kolektif yang dapat dirasakan oleh semua orang. Kekosongan ini muncul ketika apa yang diharapkan tidak terwujud sesuai keinginan. Inilah yang sering muncul dalam diri manusia: kesedihan, patah hati, putus asa, ketakutan, keraguan, rasa tidak aman, ketidakpedulian, pelarian dari kenyataan, iman yang goyah, dan kehilangan harapan. Dinamika alamiah ini adalah bagian dari realitas kehidupan manusia.
Manusia zaman sekarang sering kali hidup dalam kekosongan jiwa dan raga, yang membuat mereka merasa tidak percaya diri, tidak bahagia dengan apa yang dimilikinya, dan tidak tahu bagaimana menghargai hidup. Kekosongan ini menyebabkan banyak masalah dalam kehidupan: pasangan-pasangan berpisah, anak-anak kehilangan kasih sayang, kaum muda kehilangan harapan akan masa depan, kaum tua terabaikan, dan hubungan antar saudara menjadi renggang.
Dalam surat pastoral itu juga menuliskan bahwa, dalam dunia profesional, tugas, jabatan, dan karier sering kali dipandang hanya sebagai kesempatan untuk mengumpulkan kekayaan dunia. Banyak orang belum merasakan manfaat dari anugerah kemerdekaan. Orang-orang sakit, terutama yang lemah, kehilangan harapan untuk sembuh, sementara di jalan kita sering mendengar sirene ambulans. Suara kaum miskin belum sampai ke telinga kita, dan penderitaan mereka sering kali tidak sampai ke hati kita.
Orang-orang saat ini juga hidup dalam kesendirian. Mereka membangun dunia untuk dirinya sendiri, merasa cukup dengan kekuatannya sendiri, terfokus pada diri mereka sendiri, dan tidak menghargai kehadiran orang lain. Mereka tidak mengakui pengorbanan orang lain dan tidak tahu bagaimana hidup bersama dalam kebersamaan.
Mentalitas individualisme tumbuh dengan mengabaikan penderitaan orang lain. Kita sering kali tidak merasakan penderitaan orang lain, meskipun mereka ada di depan mata kita. Bahkan kita mungkin menjadi penyebab penderitaan, rasa sakit, air mata, dan kematian orang lain, kemudian berpura-pura tidak tahu, seperti Pilatus yang mencuci tangan dan merasa tidak bersalah.
“Realitas lain yang kita hadapi adalah ketakutan. Ketakutan ini menghilangkan keberanian untuk berbuat baik, untuk mencari dan membela kebenaran, dan untuk bertanggung jawab atas tugas yang dilakukan. Ketakutan ini membuat banyak orang terjebak dalam rasa tidak aman, tenggelam dalam zona nyaman, dan terperangkap dalam ketidakpastian,” tulis surat pastoral itu.
Tantangan dan masalah hidup, jika dihadapi sendirian, bisa membuat orang merasa kosong, kesepian, dan takut, dan akhirnya mengarah pada depresi, kecemasan, serta membuat hidup semakin sulit. Namun, harus terus maju dengan harapan, berpindah dari pengalaman hampa menuju kepenuhan, dari kesepian menuju kebersamaan, dari ketakutan menuju keberanian, dari kekalahan menuju kemenangan, dari kain compang-camping menuju pakaian, dari luka menuju penyembuhan, dan dari kematian menuju kebangkitan.
“Para imam, diakon, biarawati, biarawan, seminaris, serta semua orang yang berkehendak baik : Emaus bukanlah tempat terakhir untuk kita tinggal. Sebaliknya, itu adalah tempat yang memberi kita kesempatan untuk memahami dan mengenali Yesus yang Bangkit, Dia yang membuka mata kita dan menghangatkan hati kita, sehingga kita kembali ke Yerusalem. Inilah pedagogi ilahi : Allah mengajarkan kita untuk menjadi murid yang penuh harapan. Gambar baru ini menjadikan kita pembawa Injil, untuk mengubah masyarakat yang hidup dalam kegelapan menjadi terang, kesedihan menjadi harapan, kegembiraan menjadi sukacita, dan keraguan menjadi iman,” ungkap surat pastoral itu.
Dijelaskan juga, “Yesus yang Bangkit adalah harapan kita, dan semoga harapan ini tidak pernah menipu kita. Harapan ini mengisi tepian kematian dengan kehidupan baru. Karena melalui kematian dan kebangkitan Kristus, kuasa dosa dan maut dihancurkan; Paskah Yesus Kristus adalah kasih dan pengorbanan Allah yang tak terbatas bagi kita. Kasih inilah yang membuat Anak Allah, Juruselamat dunia, menyembuhkan kita dengan bilur-bilur-Nya, sebagaimana tertulis, “Karena oleh bilur-bilur-Nya kita menjadi sembuh” (Yes 53:5). Harapan ini memperbarui kita dan mengokohkan iman kita dalam Kebangkitan Yesus Kristus. Harapan ini tidak akan pernah menipu kita, bertahan selamanya, dan menuntun kita kepada sukacita yang sejati,” tulis surat pastoral itu.
Menuju Ajaran Kekuatan Gereja melalui Para Uskup sebagai Sahabat Para Rasul
“Agar harapan hidup kita terus tumbuh subur, kita harus berjalan bersama Kristus dalam satu Gereja-Nya yang Kudus, Katolik, dan Apostolik. Jalan ini berakar dalam Ekaristi. Ekaristi mempertemukan kita dan membuat kita satu dengan Kristus yang Bangkit, membawa-Nya kepada saudara-saudari kita. Kristus yang Bangkit berjalan bersama kita di jalan menuju Emaus hari ini, melalui orang-orang miskin yang kita layani, orang-orang sakit yang kita rawat, mereka yang lapar dan haus, mereka yang martabatnya dilucuti, para narapidana yang terpenjara, para janda, yatim piatu, dan orang asing yang terabaikan. Marilah kita berjalan bersama sebagai peziarah harapan, dalam semangat sinodalitas, untuk memperkuat iman, harapan, dan kasih kita kepada Kristus yang Bangkit,” tulis surat pastoral tersebut.
Reporter : Cidalia Fátima
Editor : Armandina Moniz