iklan

POLITIK, INTERNASIONAL, SOSIAL INKLUSIF

Hilang selama penjajahan Indonesia, AJAR: 30 korban butuh dukungan bertemu keluarga di TL

Hilang selama penjajahan Indonesia, AJAR: 30 korban butuh dukungan bertemu keluarga di TL

Koordenador organisasi AJAR di Timor-Leste, Inocêncio de Jesus Xavier. Foto Tatoli/Osória Marques

DILI, 19 juli 2022 (TATOLI)—   Organisasi Asia Justice and Rights (AJAR) di Timor-Leste (TL) melaporkan 30 anak yang hilang pada masa penjajahan Indonesia telah ditemukan dan mereka membutuhkan dukungan Pemerintah untuk dapat dipertemukan dengan keluarga di Timor-Leste (TL).

Inocêncio de Jesus Xavier selaku Koordenador Organisasi AJAR di Timor-Leste, mengatakan ke-30 korban ini baru didaftarkan dan harusnya dijadwalkan akan pulang ke TL pada tahun 2020 tetapi ditunda akibat adanya pandemi COVID-19.

“Tahun ini kita merencanakan kembali kepulangan mereka, tetapi masalahnya sekarang kita membutuhkan dukungan dana dari Pemerintah atau entitas terkait agar memfasiltasi mereka untuk dapat bertemu dengan keluarga mereka disini,” ungkap Inocêncio pada Tatoli di Kantor CNC (Centro Nacional Chega) Balide, senin ini.

Disebutkan, ke-30 korban ini berasal dari 11 kotamadya seperti Dili, Bobonaro, Baucau, Covalima, Ermera, Aileu, Ainaro, Manufahi, Manatuto, Lospalos, Viqueque.

“Mereka semua kebanyakan dari kotamadya Baucau dan Viqueque dan hanya Liquiça, Oecusse dan Atauro yang tidak ada dalam daftar,” ucapnya.

Ia mengingatkan kembali, sebelumnya Presiden Republik, Timor-Leste memberikan dukungan sebesar $10 juta dan mendukung beberapa korban pada tahun 2019 untuk bertemu kembali dengan keluarganya.

“Reuni ini harus kita lakukan karena ini adalah hak mereka dan dalam hal ini Pemerintah memiliki tanggung jawab yang besar untuk memfasilitasi,” jelasnya.

Dia juga  mengestimasi bahwa dana yang dibutuhkan saat ini untuk memfasilitasi ke-30 korban ini bisa mencapai lebih dari $50 juta.

Dijelaskan, dana tersebut  akan digunakan untuk mengurus surat-surat yang diperlukan para korban seperti paspor, surat vaksinasi, test COVID-19, transportasi selama menguru surat, dan biaya pesawat dari Indonesia ke Timor-Leste. Karena, dengan biaya tersebut dapat  mempertemukan para korban dengan keluarga mereka yang sebagian berada di wilayah  pelosok.

“Dalam program   ini, kami   bekerja secara sukarelawan  dan hanya ingin mempertemukan para korban yang hilang dengan keluarga mereka. Tetapi, selama ini pertemuan dilakukan secara virtual sudah dilakukan hanya tinggal bertemu secara langsung yang belum terjadi,” katanya.

Diungkapkan,  AJAR  telah mendiskusikan hal ini dengan Kepala Staf Kepresidenan untuk mendapatkan dukungan lebih lanjut.

Proses mencari anak hilang ini sendiri sudah dilakukan   AJAR bersama dengan Organisasi Hak Asasi Manusia di Indonesia dan Timor-Leste sejak tahun 2009. Sehingga  saat ini telah menemukan 155 korban dan 84 diantaranya telah dipertemukan dengan keluarga di Timor-Leste.

Dijelaskan,  LSM di Indonesia yang aktif dalam proses pencarian anak hilang terdiri dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) yang bekerja sama dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, AJAR di Jakarta dan Lembaga lainnya.

Menurut laporan dari  United Nations High Comissioner for Refugee (UNHCR), dari tahun 1976 hingga 1999 tercatat   lebih dari 4500 anak-anak yang telah dipindahkan.

“Jadi jika kita lihat, sampai saat ini baru 155 anak atau korban yang kita temukan. Artinya sebagian besar belum diketahui keberadaannya,” jelasnya.

Selain itu, dalam laporan Chega, menyebutkan awal  kasus anak-anak yang diambil paksa di Timor Leste, diperuntukkan sebagai Tenaga Bantuan Operasional (TBO) TNI. Anak-anak ini biasanya diambil dari rumah sakit dan atau panti asuhan dalam keadaan sakit/terluka (akibat konflik) dan terpisah dari keluarga.

Menyusul kekacauan pasca referendum 1999, semakin banyak anak-anak menjadi korban dan terlantar tanpa keluarga. Periode ini semakin membuka celah bagi lembaga-lembaga yang bahkan sebelumnya tidak melakukan tindakan serupa (mengambil anak) seperti Yayasan Hati untuk mengambil anak-anak dengan dalih menyelamatkan mereka dari kekacauan.

Pada 2001, United Nations Transitional Administration in East Timor (UNTAET) membentuk Commission for Reception, Truth and Reconciliation in East Timor/Comissão de Acolhimento, Verdade e Reconciliação de Timor Leste (CAVR) untuk mendukung rekonsiliasi nasional dan pemulihan pasca tahun konflik politik.

Salah satu program CAVR adalah laporan tahun 2003 tentang anak-anak yang diambil paksa dan merekomendasikan pemerintah Indonesia dan Timor-Leste untuk mengambil kebijakan mengenai kasus tersebut.

AJAR sendiri merupakan salah satu NGO yang bergerak dalam penegakan HAM di Asia. Sebagai organisasi yang berfokus mengenai transisi masyarakat dari pelanggaran HAM menuju demokrasi, AJAR juga peduli terhadap proses pengembalian anak-anak yang diambil paksa dalam konflik Indonesia-Timor Leste.

Reporter: Cidalia Fátima

Editor    : Armandina Moniz

iklan
iklan

Leave a Reply

iklan
error: Content is protected !!