Oleh:
Antonio Octaviano Marcelo da Cunha
Populisme merupakan sebuah wabah yang sedang menjangkit kontestasi perpolitikan dunia saat ini. Populisme ibarat wabah Covid-19 yang bukan saja melibatkan jaringan nasional melainkan juga jaringan transnasional (lintas negara); ia cepat berkembang dan melintas jejaring nasional dan transnasional yang sulit untuk dicegah. Populisme tampaknya berkuasa atas segala-galanya dalam dunia perpolitikan. Ia muncul dan hadir dengan wajah yang ambivalen dan paradoks yang sulit untuk didefinisikan secara mutlak dalam suatu rumusan yang baku. Oleh karena itu, populisme bersifat fleksibel dan adaptif yang mudah menerobos sebuah keadaan riil dan batasan-batasan dunia perpolitikan. Dalam menyimak realitas perpolitikan dunia saat ini; Pendekatan strategi politik garapan Kurt Weyland, tampaknya sangat relavan dalam memahami kontestasi politik secara umum. Namun dalam tulisan opini ini, penulis akan memfokuskan kajiannya secara khusus pada kontestasi politik kampanye antisipasi pemilihan legislatif dan pemilihan presiden di Timor Leste pada tahun-tahun sebelumnya, untuk memberikan beberapa catatan kritis dan menjadi bahan konsumsi bagi masyarakat dan beberapa partai yang sedang mempersiapakan diri untuk menyongsong momen Demokrasi pada pemilihan 2022. Dengan demikian, dalam membaca dan memahami gerakan politik para kontestan partai politik di Timor-Leste, penulis mencoba untuk mengemukakan perspektif Kurt Weyland yang memahami populisme sebagai strategi politik untuk melihat dinamika perpolitikan di Timor-Leste, dan juga tentang lahirnya populisme dan persaingan politik populisme di negara Timor-Leste.
Pendekatan populisme Kurt Weyland sebagai strategi politik
Secara utuh, Weyland mendefinisikan populisme sebagai strategi politik adalah : populisme lebih tepat didefinisikan sebagai strategi politik yang dicirikan dengan kemampuan kekuasaan yang digunakan oleh para penguasa untuk mempertahankan diri mereka secara politisi. Menurut Weyland ada dua komponen strategi politik: Pertama, jenis aktor politik. Tentang komponen aktor politik ini, Weyland menulis demikian : “populisme adalah strategi politik yang berputar di sekitar politisi individu. Secara khusus, populisme bertumpu pada kepemimpinan personalistik yang berupaya meningkatkan otonomi dan otoritasnya, menentang, menyingkirkan atau mendominasi tipe aktor lain, seperti faksi elit dan partai politik yang terorganisasi.” Kedua, kemampuan kekuatan pokok. Komponen ini berkaitan dengan kekuatan utama yang digunakan oleh aktor politik populis dalam memenangkan kontestasi politik dan mempertahankan otoritas mereka. Menurut weyland, ada dua pilihan sebagai basis kekuatan utama, yaitu numbers (angkah) dan special weight (bobot/pengaruh khusus) berupa pengaruh ekonomi dan militer. Namun, karena populisme adalah suatu paham yang bersifat anti-elitism dan anti-estabilishment, maka populisme tidak menggunakan special weight (bobot/pengaruh khusus) yang terdiri atas pengaruh ekonomi dan kuasa militer. Populisme menjatuhkan pilihannya pada numbers (angkah) yang didasarkan pada prinsip “satu orang, satu suara”. Kekuatan numbers terepresentasi melalui kecenderungan dasar aktor populis yang suka membanjiri musuhnya dengan memobilisasi dukungan masa, demonstrasi, dan hasil survey yang menempatkan diri mereka sebagai aktor politik dengan elektabilitas tertinggi di antara pada kontestan politik lainnya.
Weyland juga mengemukakan beberapa elemen inti dalam strategi populis, yakni: Pertama, komunikasi langsung dan tidak langsung. Untuk mendapatkan dukungan masa, aktor populis berusaha melakukan kontak langsung dengan masa atau rakyat. Kedua, identifikasi langsung antara aktor populis dengan pengikutnya. Hal ini terjadi karena masa atau “the people” adalah suatu kumpulan yang tidak terorganisasi, sehingga mereka mudah diarahkan untuk kemudian diidentifikasi serupa dengan aktor populis. Ketiga, retorika anti-elit dan provokasi aksi heroik. Aktor populis memanfaatkan kekuatan wacana anti-elit sebagai sarana untuk meyakinkan masa pendukung atau “rakyat” yang anti-elit meskipun pada kenyataannya ia juga adalah salah satu tokoh elit. Selain itu, aktor populis juga sering mempromosikan aksi-aksi heroik kepada masa pengikutnya, seperti mendirikan kembali negara dan memerangi “musuh bersama”[1]
Pertarungan politik populisme di Timor-Leste
Pada saat menjalan pemilu presiden dan pemilihan legislatif di Timor-Leste pada tahun 2017; dalam kampanye, tuduhan korupsi terhadap kelas penguasa negara tersebut telah berlipat ganda karena kekayaan minyak Timor-Leste telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir dan juga isu tentang persoalan undang-undang pensaun vitalisia.
Ada aktor partai yang berkampanye melawan korupsi dalam pemilihan tahun 2017, aktor partai tersebut mengandalkan narasi dan retorika bombastis yang berisi gagasan anti-elitism, untuk meyakinkan masa pendukung atau “rakyat” seolah-olah ia sangat prihatin dengan keadaan rakyat yang anti-elit, meskipun pada kenyataanya ia juga adalah salah satu tokoh elit yang pernah mendapatkan hak pensaun vitalisia pada masa jabatan sebelumnya. Namun pada saat menjalani masa kampanye, ia kembali memanfaatkan kesempatan ketidakpuasaan publik akan tindakan korupsi khusunya lei pensaun vitalisia untuk menentang para elit dan menarik simpati masa (masyarakat), dan menjanjikan bahwa jika partainya menang maka dia akan menghapus undang-undang pensaun vitalisia yang dianggap berlebihan dan menjadi keprihatinan publik selama ini. Aktor tersebut dapat dikategorikan sebagai salah satu politisi populis yang memanfaatkan intervensi ketidakpuasan publik selama ini dengan menawarkan sebuah solusi alternatif akan persoalan publik sebagai alasan untuk menarik simpati masa dan memperebutkan angka elektabilitas dalam pemilihan yang akan berlangsung.
Realitas ketidakadilan dan ketimpangan sosial yang telah lama menjadi keprihatinan masyarakat, kini menjadi bahan pidato para kontestan partai politik saat berkampanye dalam menarik simpati masa dan memperebutkan angka elektabilitas. Secara tidak langsung realitas ini melahirkan paham populisme karena terjadi intervensi antara dua pihak yang berlawanan, yakni masyarakat dan para elit. Masyarakat merasa ditindas dan diperlakukan tidak adil karena tindakan para elit yang korup. Rasa ketidakadilan ini, pada akhirnya membuat pemisahan antara masyarakat yang menganggap diri sebagai pihak korban, yang disingkirkan dan diperlakukan tidak adil. Sedangkan para elit, dipandang sebagai yang korup dan berlaku tidak adil. kini peluang untuk tumbuhnya populisme makin nampak, ketika institusi demokrasi tidak mampu menciptakan keadilan sosial dan menjamin kehidupan yang sejahterah bagi masyarakat.
Sementara itu, gaya strategi partai politik lain, menggunakan elemen strategi politik kedua, yang telah digarap oleh Weyland dalam kajiannya tentang populisme; di mana aktor partai tersebut mempunyai kecenderungan menggunakan kesempatan kampanye untuk membanjiri musuhnya dengan memobilisasi dukungan masa dengan cara pawai dan demonstrasi serta survei yang telah menempatkan partainya sebagai partai yang memiliki angka elektabilitas tertinggi di antara partai yang lainnya. Aktor politik tersebut berusaha untuk memperebutkan opini publik dengan jajak pendapatnya yang bersifat menyerang para aktor partai lainnya. Hal ini juga telah ditegaskan oleh weyland bahwa jumlah jajak pendapat memiliki peranan strategi sentral dalam memperebutkan opini publik.
Aktor politik partai lainnya juga tidak mau kalah dengan gayanya dalam memperebutkan elektabilitas masa; misalnya menggunaka pernyataan-pernyataan seperti ini “Jika partai kami menang, kami akan mendukung pembangunan ekonomi secepatnya dan membawa masyarakat keluar dari kehidupan yang miskin melarat, menegakkan keadialn sosial, membentuk suatu pemerintah yang terdiri dari berbagai partai demi membangun kerjasama yang baik, dan mendorong kehidupan masyarak demi mencapai kesejahteraan sosial”. Singkatnya, jika partai mereka menang, mereka akan melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan bangsa dan negara ini, (bdk. Tema Debat “Avaliação Construção do Estado Timor Leste”, Ir. Mariano Asanami dan Dionisio Babo Soares; 10/08/2021). Pernyataan kedua aktor ini, tampil sebagai aksi heroik dengan program-programnya yang sangat memperhatikan dan memperjuangkan nasib masyarakat demi menuju sebuah kehidupan yang makmur dan sejahtera; namun di sisi lain aktor politik seperti ini secara tidak langsung mencerminkan pribadinya sebagai politisi populis yang selalu tampil sebagi aksi heroik. Hal ini juga dapat ditegaskan oleh Kurt Weyland dalam garapanya mengenai beberapa elemen inti dalam strategi populis, khususnya elemen ketiga, bahwa seorang populis juga sering mempromosikan aksi-aksi heroik kepada masa pengikutnya, seperti mendirikan kembali negara dan memerangi “musuh bersama.” Dalam hal ini, Kurt Weyland menegaskakn bahwa aktor (pemimpin) populis juga tidak memilik komitmen ideologi atau program yang jelas, tetapi memerintah berdasarkan keinginan dan pertimbangan taktis mereka sendri. Dengan demikian, pemimpin populis cenderung jatuh dalam perangkap ‘decisionism’. Pemimpin populis suka melakukan inisiatif baru yang heboh, tetapi tidak disertai dengan penjabaran dan implementasi program yang komprehensif dan sitematis.[2] Dengan demikian, pemimpin populis memposisikan tujuan oportunistiknya di atas suksesi programatik.
Menyimak realitas situasi politik ini, para aktor politik masing-masing dengan gayanya berusaha untuk menarik simpati masyarakat untuk bisa memenangkan suara rakyat pada masa pemilu yang akan berlangsung. Ada aktor politik yang menggunakan strategi politik campuran, yaitu perpaduan antara personalisme oportunistik dan personalisme ideokratis, di mana aktor politik tersebut mengandalkan kekuataan personalisme oportunistik karena figur ini memiliki kualitas atau kapabilitas personal yang membedakan mereka dari aktor politik lain, seperti mereka yang adalah Founding Father dan mantan gerilywan yang kemudian menjabat sebagai presiden atau perdana menteri; Seperti Xanana Gusmão, dan aktor politik lainnya yang adalah mantan gerilywan dan mantan pejuang kemerdekaan Timor-Leste yang juga memiliki pengaruh khusus bagi masyarakat Timor-Leste. Jika dilihat secara efektif, ada aktor politik yang sungguh ambisi, dan memiliki motivasi politik yang berkarakter oportunistik dalam memanfaatkan kesempatan kampanye untuk memenangkan kontestasi politik; di sisi lain juga mereka mengandalkan kekuatan pengaruh partai politik yang dianggap sebagai partai raksasa dalam mendulang masa dan mempertahankan kekuasaan politiknya.
Dengan ini menjadi jelas bahwa para aktor partai politik pada umumnya menggunakan kekuatan personalisme personalistik ideokratis dalam mengejar kekuasaan. Bertolak dari realitas kontestasi politik Timor Leste, saya menyimpulkan bahwa gerakan politik mainstream politik Timor-Leste; populisme lebih tepat didefinisikan sebagai strategi politik dan sebagian kecilnya diskursif. Dengan partai-partai tersebut sekarang saling terkait satu sama lain; Pertanyaannya adalah sudah sejauh mana program-program dan janji-janji manis yang ditebarkan saat menjalani kampanye dapat terlaksana dengan baik setelah memenangkan pemiluh ? Apakah masyarakat hanya dimanfaatkan untuk meraih suksesi jabatan ? Jadi masyarakat mau belajar dari sejarah atau mau mengulangi sejarah ? Masyarakat harus belajar dari pengalaman dan waspada terhadap populisme karena bisa menghancurkan daya nalar kritis dan melemahkan aktivitas berpikir logis. Masyarakat harus belajar berpikir kritis dalam menentukan nasib Negeri Timor Leste pada momen demokrasi yang akan datang. Nasib negeri Timor-Leste ada di tangan masyarakat; Terserah kepada masyarakat Timor-Leste untuk menentukan pihak mana yang lebih jujur dalam melayani masyarakat.
Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, Flores-NTT.
[1] Kurt Weyland, “Populism: A Political-Strategical Approach” in Cristóbal Rovira Kalwasser at all (ed.), Oxford Handbook Of Populism, Published Online: November 2017, hlm. 14, lihat: DOI: 10.1093/oxfordhb/9780198803560.013.2
[2] Ibid.,